MAKALAH TENTANG PURA AGAMA HINDU LENGKAP




AGAMA HINDU
VPura Besakih (Pura Dalem Puri, Penataran Agung dan Batu Madeg)





OLEH:
WAYAN ADI DARMAWAN. S.P
(1302406065)
AGROTEKNOLOGY





Tugas Individu
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS COKROAMINOTO PALOPO
2013



KATA PENGANTAR




Puji dan syukur atas Ida Sang Hyang Widhi Wasa, yang telah memberikan kemudahan untuk dapat menyelesaikan tugas ini tepat pada waktunya. Makalah ini merupakan tugas dari mata kuliah AGAMA HINDU, yang mana dengan tugas ini Saya sebagai mahasiswa dapat mengetahui   materi kuliah  yang berjudul Pura Besakih (Pura Dalem Puri, Penataran Agung dan Batu Madeg)”.

Makalah ini dibuat dengan berbagai observasi dan beberapa bantuan dari berbagai pihak untuk membantu menyelesaikan tantangan dan hambatan selama mengerjakan makalah ini. Oleh karena itu, Saya mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini. 

 Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar makalah ini dapat lebih baik lagi. Akhir kata kami berharap agar makalah ini bermanfaat bagi semua pembaca.



   Palopo,       November 2013


   Penyusun




DAFTAR ISI



KATA PENGANTAR................................................................................................ i

DAFTAR ISI............................................................................................................... ii

BAB    I.   PENDAHULUAN................................................................................... 3
A.    Latar Belakang............................................................................... 3
B.     Rumusan Masalah ....................................................................... 3
C.    Tujuan .............................................................................................. 3

BAB   II.  PEMBAHASAN....................................................................................... 5

A.    Keberadaan Pura Besakih........................................................... 5
B.     Pengertian Pura Agung Besakih............................................... 5
C.    Sejarah Pura Besakih.................................................................... 6
D.    Struktur Pura Agung Besakih..................................................... 7
E.     Pura Dalem Puri............................................................................. 8
F.     Pura Penataran Agung................................................................. 8
G.    Pura Batu Madeg........................................................................... 9

BAB III.   PENUTUP ............................................................................................. 10
A.    Kesimpulan.................................................................................... 10
B.     Saran.............................................................................................. 11

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................. 12



BAB  I
PENDAHULUAN

A.       LATAR BELAKANG
Pulau Bali dikenal dengan julukan Pulau Seribu Pura karena banyaknya pura-pura bertebaran di wilayah pulau Bali. Demikian banyaknya pura-pura itu, diyakini ada pura yang menjadi pusat atau kepala / hulunya. Dari berbagai sumber tertulis menyatakan hulu / kepala seluruh pura yang ada di Bali adalah Pura Besakih. Hal itu diperkuat dengan struktur Pura Besakih yang megah dan mempunyai satu kesatuan dengan pura-pura pendukung disekelilingnya, menyebabkan pura Besakih mendapat julukan Pura Terbesar di Indonesia. Melihat dari banyaknya pura yang ada diwliayah Pura Besakih yang tak dapat dipisahkan hubungannya satu sama lain menyebabkan Pura Besakih disebut dengan Pura Agung Besakih. Kemegahan Pura Agung Besakih didukung oleh nilai estetika yang tinggi dari Pura Agung Besakih, mencerminkan tingginya estetika dan etika orang Bali sebagai pancaran Bhakti pada Hyang Widhi. Bahkan Pura Agung Besakih dikatakan sebagai ” madyaning bhuana” ( sentralnya alam semesta ).
Begitu sakralnya Pura Agung Besakih yang menjadi pusat ritual keagamaan ( Hindu ) baik secara teritorial / Bali maupun secara nasional, namun pada era globalisasi ini keunikan-keunikan Pura Agung Besakih mendapat tantangan dari pengaruh-pengaruh global dewasa ini. Dari pengaruh-pengaruh itu memunculkan pergeseran-pergeseran nilai  baik kesucain maupun etikanya. Hal ini terbukti dengan adanya pergeseran marginal dengan adanya wisatawan baik asing maupun domistik yang datang mengunjungi Pura Agung Besakih dengan berbagai motivasinya, sehingga tak metutup kemungkinan akan menimbulkan ekses-ekses yang berakibat mengurangi kesucian / kesakralan Pura itu sendiri. Namun dilain aspek kebutuhan dari pemerintah daerah dalam hal pendapan daerah untuk digunakan membangun daerah sendiri, Pura Agung Besakih merupakan sumber pendapatan daerah yang sangat besar, kenyataan ini tak bisa dipungkiri. Dari dua aspek diatas itu maka tugas dan kewajiban kita sebagai generasi muda ( Hindu ) untuk bisa bagaimana agar kedua aspek itu menjadi hubungan yang harmonis satu sama lain. Dalam artian Pura Agung Besakih harus dijaga kesucaian dan kelestariannya sebagai warisan leluhur, namun pendapatan tetap kita butuhkan untuk membangun daerah.
Dalam hal menjaga warisan leluhur yang harus kita lakukan adalah mencintai warisan leluhur itu. Sikap mencintai diwujudkan dalam hal pengenalan lebih dalam sampai sedalam-dalamnya. Begitu juga halnya dengan mencintai Pura Agung Besakih diwujudkan dengan mengenal lebih dekat atau secara langsung seluruh yang ada di Pura Agung Besakih. Banyak cara yang bisa dilakukan umat Hindu atau masyarakat Bali dalam mencintai Pura Agung Besakih, misalnya :
1.      Tirta Yatra,
2.       Mengadakan persembahyangan ke Pura Agung Besakih pada hari-hari tertentu ( hari-hari baik, purnama, tilem, hari piodalan, usaba, dll )
3.        Penelitian.
4.        Menggunakan Pura Agung Besakih sebagai tempat pertemuan yang bersifat adat, agama, dan budaya.  dll.
Maka dibuatlah karya tulis sedikit tentang Pura Agung Besakih dan tiga pura yang ada di dalamnya.

B.       RUMUSAN MASALAH

Adapun rumusan masalah dalam karya tulis atau karya ini yaitu.
1.      Bagaimana keberadaan Pura Besakih ?
2.       Bagaimana pengertian Pura Agung Besakih ?
3.         Bagaimana sejarah Pura Besakih ?
4.       Bagaimana struktur Pura Besakih ?
5.       Bagaimana keberadaan Pura Dalem Puri ?
6.       Bagaimana keberadaan Pura Penataran Agung ?
7.        Bagaimana keberadaan Pura Batu Madeg ?

C.      TUJUAN PENULISAN
Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan yang diharapkan dalam karya tulis atau karya ini yaitu.
1.      Untuk mengetahui bagaimana keberadaan Pura Besakih.
2.       Untuk mengetahui bagaimana pengertian Pura Agung Besakih.
3.      Untuk mengetahui bagaimana sejarah Pura Besakih.
4.      Untuk mengetahui bagaimana struktur Pura Besakih.
5.       Untuk mengetahui bagaimana keberadaan Pura Dalem Puri.
6.       Untuk mengetahui bagaimana keberadaan Pura Penataran Agung.
7.       Untuk mengetahui bagaimana keberadaan Pura Batu Madeg.

BAB  II
PEMBAHASAN

A.       KEBERADAAN PURA BESAKIH
Pura Agung Besakih terletak di kaki Gunung Agung kecamatan Rendang Kabupaten Karangasem atau 23 km di utara Kota Klungkung. Selain merupakan pusat ritual masyarakat Hindu, juga merupakan aset kabupaten Karangasem sebagai pusat kunjungan wisata. Selain nilai seni dan budaya yang khas juga Besakih menyajikan panorama yang indah, Candi dan Pura yang Megah dalam jumlah yang banyak sebagai pusat / hulu pura-pura di Bali, dan masih banyak keunikannya, sehingga banyak dikunjungi orang baik dalam acara ritual maupun tujuan wisata.

B.       PENGERTIAN PURA AGUNG BESAKIH
1)      PENGERTIAN PURA
Kata pura berasal dari bahasa sansekerta yaitu dari akar kata “pur” yang berarti ”kota” atau ”benteng” yaitu suatu tempat yang dibuat secara khusus dengan dipagari tembok untuk mengadakan kontak dengan kekuatan suci. Kemudian berkembang menjadi ”Istana” atau ”kerajaan” seperti Kerajaan Hastina Pura, Alengka Pura, Ayodya Pura, dll. Di Bali pura berfungsi untuk  pemujaan terhadap Sang Pencipta dengan segala manifestasi ( prabhawa )  Nya.
Pura adalah tempat suci umat hindu untuk mewujudkan bhaktinya kepada tuhan. Istilah Pura lahir dari proses sejarah yang sangat panjang. Pada jaman Bali Kuno disebut “Ulon” yang berarti tempat suci untuk berhubungan dengan tuhan. Hal ini dimuat dalam Prasasti ”Sukawana” AI ( th 882 M ).
Dalam Prasasti ”Kehen” tempat suci disebut ”Hyang”. Menurut lontar ”Usana Dewa” Empu Kuturanlah yang mengajarkan umat hindu di Bali membuat tempat suci dan mengemabangkan cara-cara / teknik membuat tempat pemujaan yang disebut ”Kahyangan” Kedatangan Empu Kuturan ke Bali dari Jawa Timur pada waktu pemerintahan raja Udayana banyak membawa prubahan-perubahan tata keagamaan, seperti :
  1. Mengajarkan membuat sad Kahyangan Jagat
  2. Catur Loka Pala
  3. Kahyangan Rwa Bhineda
  4. Mengembangkan / membesarkan Pura Besakih
  5. Mengembangkan bangunan pelinggih spt Meru, gedong, dan pelinggih lainnya
  6. Mengajarkan pendirian Tri Kahyangan di tiap-tiap desa di Bali
  7. Menata Desa-desa di Bali yang disebut Desa Pakraman
  8. Mengajarkan pendirian Rong tiga di tiap-tiap rumah
Dan sesuai dengan lontar ”Dewa Tattwa”, Mpu Kuturan mengajarkan pembuatan sarana dan prasarana secara spiritual seperi jenis-jenis upacara, jenis-jenis pedagingan, pelinggih dan sebagainya.
Sebelum dinasti raja-raja Bali / Dalem, istana raja disebut dengan ”Kedaton” / Keraton. Hal ini disebabkan menurut kitab ”Negara Kertagama” 73.3 menyebutkan bahwa “apa yang berlaku di Majapahit diperlakukan pula di Bali oleh dinasti Dalem”. Setelah jaman Dalem maka istana disebut dengan ”Pura”  misalnya :
  1. Keraton Samprangan disebut Linggrsa Pura
  2. Keraton Gelgel disebut Suwaca Pura
  3. Keraton  Klungkung disebut Semara Pura
  4. Keraton Karangasem disebut Amlapura.
  5. dll
Setelah Dalem berkeraton di Klungkung atau Semara Pura istilah Pura dipakai untuk menyebutkan tempat suci pemujaan. Sedangkan istana raja tidak lagi disebut Pura tetapi disebut “Puri”. Demikian istilah Pura menjadi istilah yang baku sampai sekarang untuk menyebutkan tempat suci atau tempat pemujaan umat Hindu di Indonesia.
Pada jaman ”Dalem Waturenggong” Bali mencapai puncak kejayaannya pada abad XV dengan penasehat spiritualnya yaitu Brahmana Siwa “Dang Hyang Nirartha” ( Dwijendra ). Kedatangan Dang Hyang Nirartha ke Bali dari “Daha” ( Jawa timur )  membawa pengaruh sangat besar di Bali dibidang spiritual Hindu, yakni :
1.      Mengembangkan apa yang sudah ada ( dari pengaruh Mpu Kuturan )  dan menyempurnakannya, terutama bidang Upacara dan upakara,
2.      Menciptakan hubungan manusia dengan Tuhan secara Vertikal dengan simbol pelinggih “Padmasana”,
3.       Sebagai seorang Pujangga yang banyak melahirkan Kesusastraan Bali,
4.        Membentengi pulau Bali dengan kekuatan spiritual dengan mendirikan Pura-pura Segara,
5.      Beliau juga menciptakan spiritual hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan roh leluhurnya, dan manusia dengan roh rajanya.

Sehingga fungsi Pura identik dengan fungsi Candi di Jawa yaitu :
1.      Sebagai tempat pemujaan Tuhan dengan segala manifestasinya ( Dewa Pratista )
2.       Sebagai tempat pemujaan Roh suci ( Atma Pratista ), baik Dalem / Raja maupun leluhur.

2.      PENGERTIAN PURA AGUNG BESAKIH
Untuk memahami Kahyangan atau Pura di Bali yang menjadi lambang spritual masyarakat Bali secara spesifik / dalam bentuk miniatur dalam memudahkan pemahaman marilah kita meneropong salah satu Kahyangan yang merupakan simbol dari seluruh Kahyangan di Bali yaitu Pura Besakih. Karena menjadi simbol Spiritual masyarakat Bali, Pura Besakih disebut Pura Agung Besakih atau Pura terbesar.  Pura Agung Besakih merupakan satu kesatuan Pura yang bertebaran di areal Pura Besakih. Pura-pura tersebut merupakan pusat / kepala dari pura-pura yang ada di Bali.
Hal tersebut diungkapkan dalam lontar Usana Bali yang menyatakan bahwa Pura Agung Besakih adalah ”Huluning Bali Rajya” yang artinya sebagai kepala atau hulu dari Bhuana. Jika diumpamakan sebagai manusia, kepala / hulunya merupakan tempat dimana segala daya olah pikir atau otak berada. Itu berarti segala ide dan konsep kehidupan bersumber dari Pura Agung Besakih.
C.       SEJARAH PURA BESAKIH
Dalam Lontar Markandeya purana diuraikan tentang kedatangan Rsi Markandeya dari Gunung Rawung Jawa Timur yang bertransmigrasi ke Bali. Setelah tiba di Bali dengan membawa 800 orang prajurit mereka merabas hutan untuk membuka ladang pertanian, tanpa melakukan proses upacara terlebih dahulu, akhirnya seluruh rombongan / prajurit Beliau terjangkit penyakit dan akhirnya meninggal. Sang Rsi akhirnya kembali ke Gunung Rawung, setelah merenung dan meng evaluasi atas langkah-langkah Beliau terdahulu serta mengadakan konsolidasi seperlunya, Sang Rsi dengan membawa 400 orang prajurit kembali ke Bali. Sebelum Rsi Markandeya merabas hutan terlebih dahulu Beliau melangsungkan upacara. Upacara tersebut didahului dengan menanam Panca Dhatu, dan disertai permata mirah dengan segala kelengkapan upacaranya. Semua sarana upacara itu kemudian dinamakan Basuki yang artinya selamat / rahayu. Dengan semua proses upacara tersebut Rsi Markandeya dan rombongannya melakukan usaha-usahanya di Bali dengan selamat. Kemudian tempat menanam Panca Datu itu dinamakan Basuki.
Panca Dhatu artinya Lima warna atau lima elemaen dasar sebagai simbolis lima elemen atau unsur alam semesta. Fungsinya adalah untuk menyangga alam semesta yang disimbolkan dengan pura, pelinggih atau symbol-simbol Tuhan lainnya. Untuk itulah Pnaca Dhatu dipakai pedagingan atau pependeman dari suatu Bangunan Suci untuk menghadirkan kekuatan spiritual pada bangunan tersebut. Sehingga bangunan tersebut memiliki daya hidup / kekuatan spiritual yang dapat memberikan pengaruh kejiwaan terhadap yang memilikinya.
Kelima elemen Panca Dhatu tersebut meliputi :
1.      Unsur Emas ( Aurum / Au ), mewakili Mahadewa yang menguasai arah barat.
2.      Unsur Perak ( Argentium / Ag ), mewakili Iswara yang menguasai arah timur.
3.      Unsur Tembaga ( Cuprum / Cu ), mewakili Brahma yang menguasai arah selatan.
4.       Unsur Besi ( Ferrum / Fe ), mewakili Wisnu yang menguasai arah utara.
5.      Unsur Timah ( Stanum / Sn ), mewakili Siwa yang menguasai arah Tengah.
Berita penanaman Panca Dhatu oleh Rsi markandeya menarik minat para pendeta dan orang suci untuk datang dan bersembahyang kepada Hyang Tohlangkir di gunung Agung. Bahkan raja-raja Bali membuat ”Padharman” di sekitar tempat pemujaan Hyang Tohlangkir. Salah satu prasasti bertahun saka 835 (913 M) menyatakan : Raja Bali Sri Kesari Warmadewa ( Sri Wira Dalem Kesari), membangun merajan Selonding untuk pemujaan Beliau kepada Hyang Tohlangkir.
Raja Udayana dan permaisurinya yang memerintah tahun 1007 M juga memberikan perhatian besar kepada pura Besakih. Demikianlah sejak pemerintahan Sri Kesari Warmadewa hingga silsilah raja Gelgel, pura Besakih menjadi tempat ibadat dimana para raja menyungsung leluhurnya.
Masa pemerintahan Raja Udayana, dikenallah usaha Mpu Kuturan ( pencetus Sad Kahyangan ) dan Mpu Bradah yang menganjurkan penataan kembali pura Besakih. Prasasti Bradah di Pura Batu Madeg menunjuk angka tahun saka 929 ( 1007 M ) kiranya merupakan kedatangan Mpu Bradah di Besakih. Dang Hyang Nirartha datang di Bali tahun 1460 M ( masa pemerintahan Dalem Waturenggong ). Beliau datang untuk memperkuat sendi-sendi agama Siwa di Bali. Beliau mencetuskan pelinggih ”Padmasana” dan melakukan pembaharuan pura Besakih dari segi bangunan maupun upacaranya yang kita warisi hingga kini.
 Dewa Agung Istri Kania ( Raja Klungkung ) memerintah tahun 1822 – 1860 juga memberi perhatian besar pada pura Besakih. Tahun 1917 terjadi gempa bumi yang menghancurkan pura Besakih. Pemerintah Belanda ikut ikut memperbaikinya bersama raja-raja di Bali. Bulan Pebruari 1963 Gunung Agung meletus, pura Besakih kembali mengalami kerusakan. Pemda Bali mengambil alih pengelolaan pura Besakih. Renovasi dilakukan dan pemugaran selesai dilakukan tahun 1978 dan upacara Panca Wali Krama dilangsungkan. Setahun kemudian tahun 1979 upacara Eka Dasa Rudra dilangsungkan dihadiri umat Hindu seluruh Indonesia.
Dalam Bhagawad-gita 10.28 Sri Krsna bersabda ”… Surpanam asmi vasukih, artinya diantara ular-ular Aku adalah Vasuki. Di tempat itu pula distanakan Naga Vasuki sebagai penyangga mandala atau kawasan yang disucikan, maka diatasnya didirikanlah Pura Besakih / tepatnya di Pura Basukihan.( di depan Pura Penataran Agung ).

D.      STRUKTUR PURA AGUNG BESAKIH
Pura Besakih didirikan pada masa prasejarah dimana sebagian besar struktur pura bangunannya berupa punden berundag, untuk menghormati para dewa dan para leluhur. Diyakini makin tinggi suatu tempat semakin suci pula tempat itu. Demikian pula susunan atau struktur 18 pura umum ( yang menjadi obyek observasi ) yang dibagi 3 kesatuan pura-pura, dengan Pura Penataran Agung sebgai sentralnya. Dan ketiga kesatuan pura itu terdiri :
1. Kesatuan Pura-pura Sasoring ambal-ambal yang terdiri dari :
·         Pura Pesimpangan.                               
·         Pura Manik Mas                                   
·          Pura Bangun Sakti                               
·         Pura Ulun Kulkul                                 
·          Pura Merajan Selonding                      
·         Pura Gowa
·          Pura Banua Kawan
·           Pura Merajan Kanginan
·           Pura Basukihan Puseh Jagat
·          Pura Prajapati Hyangalu / Jenggala
·          Pura Dalem Puri
2. Pura Penataran Agung merupakan Madyaning ambal-ambal atau merupakan sentral / pusat dari Pura Agung Besakih.
3.  Kesatuan Pura-pura Luhuring ambal-ambal yang terdiri dari :
·         Pura Kiduling Kerteg
·          Pura Batumadeg
·         Pura Gelap
·         Pura Peninjoan
·          Pura Pengubengan
·          Pura Tirta
Pura Besakih merupakan pura sad kahyangan ini berdasarkan Konsepsi Sadwinayaka dan Lontar Padma Bhuwana. Sad Winayaka adalah landasan pendirian Sad Kahyangan di Bali secara konsepsiaonal terkait dengan sad Krtih. Sad Krtih termuat dalam Purana Bali yang menyebutkan enam jenis pakerti Yadnya, yakni :
  1. Atmakrtih, yaitu yadnya yang ditujukan kepada Sang Hyang Atma, seperti Pitra Yadnya. Secara konsepsional berkaitan dengan pemujaan ”Siwa Raditya”.
  2. Danukrtih, yaitu yadnya untuk air atau segala jenis tirta. Secara konsepsional berkaitan dengan pemujaan ”Dewi Ratih”.
  3. Samudrakrtih, yaitu yadnya ke laut dalam wujud upacara menghilangkan penyakit ( gering, sasab dan merana ). Secara konsepsiaonal berkaitan dengan pemujaan ”Dewa Baruna”.
  4. Wanakrtih, yaitu yadnya untuk hutan dan gunung, termasuk tanam-tanaman. Hal ini berkaitan dengan pemujaan ”Bhatara Kala”.
  5. Jagatkrtih, yaitu mengupacarai jagat ( alam ) dengan mengadakan tawur atau caru. Berkaitan dengan pemujaan ”Dewa Gana”.
  6. Yamakrtih, yaitu yadnya untuk manusia yang dituangkan dalam upacra manusa yadnya dan segala tugas dan kewajibannya. Secara konsepsi berkaitan dengan pemujaan ”Dewa Kumara”.
Adapun Sad Kahyang yang berlandaskan Sad Winayaka adalah :
  1. Pura Besakih ( Karangasem )
  2. Pura Lempuyang Luhur ( Karangasem )
  3. Pura Gua Lawah ( Klungkung )
  4. Pura Uluwatu ( Badung )
  5. Pura Batukaru ( Tabanan )
  6. Pura Pusering Tasik / Pusering Jagat ( Pejeng / Giangar
Adapun rontal-rontal yang menyinggung tentang Sad Kahyangan antara lain : Kusuma Dewa, Usana Bali, Dewa Purana Bangsul, Babad Pasek Kayu Selem, Widhi Sastra, Padma Bhuwana, Sangkul Putih, Empu Kuturan, Raja Purana.
Tujuan Sad Kahyangan adalah untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat secara pendakian rohani sehingga kemajuan material mengikuti.
Dalam lontar Padma Bhuwana, Bhuwana Kosa, menyebutkan tentang gabungan dari ketiga konsep pendirian Kahyangan ( Rwa Bhineda, Catur Loka Pala dan Sad Winayaka ) akan menjadi satu kesatuan konsep yang disebut Padma Bhuana yang diwujudkan dalam sembilan Kahyangan ( Kahyangan Jagat )  yakni :
  1. Pura Besakih ( timur laut )
  2. Pura Lempuyang Luhur ( timur )
  3. Pura Andakas ( tenggara )
  4. Pura Goa Lawah ( selatan )
  5. Pura Uluwatu ( barat daya )
  6. Pura Watukaru ( Barat )
  7. Pura Puncak Mangu ( barat laut )
  8. Pura Batur ( Utara )
  9. Pura Pusering Jagat ( tengah )
Karena Kahyangan Padma Bhuana menempati sembilan arah mata angin / penjuru maka Kahyangan Jagat disebut pula Nawadhikpaloka yaitu sembilan penjaga penjuru bhuana.
Kesembilan Pura inilah yang mengitari penjuru Pulau Bali sebagai lambang Padma Bhuwana sebagai sumber perlindungan spiritual dan daya penyucian Bhuwana, dimana keberadaannya senantiasa berdasarkan kepada sumber-sumber serta tradisi spiritual. Empu Kuturan lah yang menyatakan Bali adalah Padma Bhuwana, dimana kelopak bunga Padma alam semesta dimana Tuhan Yang Maha Esa berstana. Sebagai konsep Padma Bhuwana Pura Besakih bagian kelopak yang terletak di Timur laut, menurut vasu arah timur laut adalah tempat bertuah dan suci.
Disini akan dijelaskan tiga buah pura yang ada di kawasan Pura Agung Besakih yakni Pura Dalem Puri, Pura Penataran Agung, dan Pura Gelap.
E.       PURA DALEM PURI
Pura Dalem Puri terletak dijalur Klungkung menuju Penataran Agung, merupakan pura yang paling barat dari kesatuan Pura Agung Besakih, dan agak terpencil dari pura-pura lainnya. Menurut kepercayaan masyarakat Bali di pura ini terdapat Gedong tempat berstananya Bhatara Durga yang merupakan Sakti dari Dewa Siwa.
   Di pura Dalem Puri ini terdapat pelinggih atau bangunan suci diantaranya Gedong stana Bhatari Durga, perwujudan sapta petala yang diatasnya terdapat batu gepeng yang sangat besar ( merupakan peninggalan Megalitikum ), 2 bale Pepelik, panggungan, 2 bale sakulu, dan gedong pelinggih Hyang Prajapati / Rajapati.
Di areal sebelum pura merupakan areal yang agak luas atau lapangan diyakini sebagai Tegal Penangsaran. Di lapangan ini terdapat tugu kecil yang terletak disebelah timur pura. Disini pula Sri Jayakasunu menerima pewarah-warah dari Bhatari Durga tentang kewajiban raja atau penguasa Bali untuk melaksanakan upacara Eka Dasa Rudra, Tawur Agung dan lain-lainnya di Besakih.
   Juga pewarah-warah itu menegaskan agar raja-raja Bali untuk melaksanakan kembali pelaksanaan Galungan dan Kuningan, serta yadnya lainnya, yang sebelumnya ditiadakan pelaksanaannya oleh kebatilan Maya Danawa.

F.       PURA PENATARAN AGUNG.
Pura Penataran Agung Besakih merupakan pusat dari kesatuan Pura Agung Besakih. Atau dengan kata lain sebagai indicator atau barometer spiritual masyarakat Bali. Pura Penataran Agung Besakih terdiri dari 7 petak yang melambangkan 7 lapisan alam atau Sapta Loka yang terdiri dari :
  1. Bhur Loka                      
  2. Bhwah Loka                   
  3. Swah Loka                     
  4. Tapa Loka
  5. Jana Loka
  6. Maha Loka
  7. Satya Loka
Petak atau undak itu merupakan bentuk dari system terasering pada bidang miring atau jaman dahulu bentuk sperti ini dikenal dengan punden berundak. Undak-undak itu adalah merupakan symbol dari proses atau tingkatan bagaimana alam ini diciptakan serta bagaimana manusia menyampaiakn rasa bhaktinya kepada Tuhan. Dengan demikian Pura Penataran Agung Besakih adalah tempat untuk bertemunya bhakti manusia kepada Tuhan.
Pada petak atau undak I symbol lapisan alam pertama ( Bhur Loka ) terdapat bangunan suci berupa banyak patung / arca dari tokoh-tokoh dalam Itihasa yakni cerita Ramayana dan Mahabarata. Hal ini berhubungan dalam konteks Weda dimana dalam Kitab Manawa Dharmasastra disebutkan bahwa ”untuk memahami Weda maka terlebih dahulu harus memahami Itihasa yakni Ramayana dan Mahabarata. Sebab Weda tidak mungkin langsung dipahami karena terdiri dari mantra-mantra atau sutra-sutra yang sangat sulit untuk dipahami. Begitu memasuki candi bentar kita akan menemukan Bale Pegat tempat untuk memohon tirta atau air suci. Disana kita mohon penyucian diri melaui tirta tersebut sebelum memasuki Penataran Agung. Selain itu tirta penyucian diri dengan tirta tersebut bertujuan untuk memusatkan pikiran pada Tuhan dan senantiasa melepaskan diri dari ikatan duniawi. Disamping kiri dan kanan Bale Pegat terdapat dua Bale Kulkul. Kulkul merupakan isyarat tertentu dan alat komunikasi. Dalam upacara Yadnya kulkul berfungsi sebagai : Sarana untuk memberikan isyarat tertentu dan sarana untuk mengundang para Dewa-dewi dalam yadnya yang diselenggarakan oleh umat manusia.Hal ini memberi makna bila kita telah siap untuk menghubungkan diri dengan Tuhan, maka terlebih dahulu kita memberi isyarat agar Tuhan dan Dewa-dewi senantiasa memberikan restu untuk memasuki penataran Beliau.Bale Pegambuhan dan Pelegongan merupakan symbol seni yang mencerminkan Estetika atau keharmonisan pikiran. Sehingga dalam langkah memasuki Penataran Agung pikiran yang kita usahakan adalah dalam kondisi harmonis tanpa beban sehingga kesucian pikiran bisa tercapai.  Begitu memasuki kori agung kita menemui bale Omkara atau bale mondar-mandir yang menuntun pikiran kita pada Tuhan yang disimbolkan dengan Omkara.Selain itu juga Bale Omkara atau bale Mondar-mandir sebagai symbol jika akan menyampaikan bhakti kepada Tuhan / Hyang Widhi maka bermula atau diawali dengan ”Om” dan berakhir pula dengan ”Om”. Hal ini terbukti pada mantra-mantra atau doa-doa Hindu di Bali terdapat aksara ”Om” pada awal dan akhir doa. Misalnya dalam puja Tri Sandhya : Om Bhur, …………………… Sntih Om.
Pada petak / undak II symbol lapisan alam kedua ( Bhwah Loka ) terdapat pelinggih utama yakni Padma Tiga. Menurut lontar ”Raja Purana Besakih”, Padma tiga ini disebut Padma Lilajnana. Sedangkan menurut lontar ”Tutur Padma Bhuwana”, Padma tiga tersebut sebagai Parhyangan Hyang Tiga Wisesa yakni Siwa, Sadasiwa dan Paramasiwa. Selanjutnya dalam Padma Bhuwana disebutkan Kahyangan Besakih didirikan pada tahun Icaka 85 ( 163 M ) sebagai stana Tuhan / Hyang Widhi Wasa dalam prabawanya sebagai Tri Murti / Tri Wisesa. Pelinggih utama lainnya yakni Meru tumpang ( tingkat ) 9 sebagai stana Ratu Kubakal. Dalam konteks alam semesta Ratu Kubakal merupakan symbol Mahluk Hidup yakni manusia, hewan dan tumbuhan. Sedangkan Meru tumpang 11 adalah stana Bhatara Manik Maketel sebagai penguasa Alam yang memberikan ruang atau tempat bagi mahluk hidup. Bale Kembang Sirang adalah sebagai tempat untuk melangsungkan upacara Mapeselang yang melambangkan bhakti umat manusia mendapat waranugraha berupa sandang, pangan dan papan. Pelinggih Ider Bhuwana adalah merupakan symbol dari esensi alam semesta yang abadi, kemudian pelinggih Sila Majemuh merupakan keaktifan alam yang menghasilkan iklim dan cuaca untuk keseimbangan alam itu sendiri. Bale Agung merupakan tempat atau symbol dimana Tuhan dalam wujud Iswara atau Saraswati  menuangkan Pengetahuan dan Ilmu Pengetahuan serta ajaran-ajaran kebenaran / dharma kepada umat manusia. Dalam mengaharkan Dharma tersebut Ia didampingi oleh widyadara-widyadari.
Pada petak / undak III symbol lapisan alam ketiga ( Swah Loka ) terdapat penciptaan sejumlah tokoh-tokoh atau Kawitan ( asal mula ) manusia seperti tokoh masyarakat, tokoh kepemerintahan, tokoh agama, dan tokoh ilmu pengetahuan. Pelinggih utama adalah Meru tumpang 11 sebagai stana Bhatara Maspait yang disebut juga Dewi Gayatri yakni Ibu Alam Semesta, dan Meru tumpang 7 sebagai stana Bhatara Geng atau disebut juga sebagai Saraswati yakni lambang Ilmu Pengetahuan. Bangunan suci lainnya adalah : bangunan kecil yang didalamnya terdapat Arca Danghyang Dwijendra, Gedong stana I Gusti Agung Toh Jiwa, Gedong stana I Gusti teges, Meru tingkat 3 stana Ida Bhatara Sukaluwih, Meru tingkat 5 satana Ida Bhatara Penataran, Meru tingkat 7 stana Ida Bhatara Tulus Dewa, Meru tumpang 5 stana Igusti Ngurah Dauh, Bangunan yang didalamnya terdapat arca seorang pendeta dan orang naik kuda. Dibagian barat terdapat bangunan yang berjejer Pelinggih-pelinggih diantaranya : Kawitan Watu Lepang, Bendesa Manik Mas, Kayu Selem, dan Danghyang Dwijendra.
Pada petak / undak IV symbol lapisan alam keempat ( Tapa Loka ) terdapat penciptaan sejumlah Profesi atau Guna Widya, diantaranya Widyadara-widyadari symbol profesi seniman, Ratu Subandar atau Hyang Waruna sebagai symbol profesi kelautan, Ratu Ulang Alu sebagai symbol profesi perekonomian, Surya-Candra sebagai profesi perbintangan / wariga / perhitungan hari, Danccawara sebagai symbol profesi pertahanan dan keamanan. Pelinggih utama dalam petak ini adalah Meru tumpang 11 sebagai stana Ratu Sunaring Jagat. Sunar artinya cahaya atau penerangan atau pengetahuan untuk menyinarai kegelapan / Awidya. Sehingga dengan Sinar / pengetahuan manusia dapat melangsungkan hidup mereka dengan membentuk profesi masing-masing sehingga akan mencapai Dharma, Artha, Kama dan Moksa.
Pada petak / undak V symbol lapisan alam kelima ( Jana Loka ) terdapat 2 pelinggih utama yakni Meru tumpang 11 sebagai stana Hyang Indra atau disebut juga Bhatara Hyang Wisesa. Kemudian yang satunya lagi Meru tumpang 3 sebagai stana Ratu Mas Magelung atau saktinya Hyang Wisesa. Pada Meru tumpang 11 stana Hyang Wisesa ini dulu para arya dari Majapahit ( Wilwatika ) datang untuk bersama-sama mendem ( menanam ) dasar bangunan dengan tujuan sebagai tempat pemujaan terhadap leluhur-leluhurnya. Dalam kontek folosfi di petak V ini adalah sebagai tingkat dimana Tuhan sudah tersetuh oleh guna / sifat untuk mengadakan Kriya untuk mengatur alam semesta. Dalam hal ini Tuhan telah dibedakan dengan Sakti ( power ) nya, sehingga dipribadikan dengan wujud Laki ( sebagai Tuhan / Siwa ) itu sendiri dan Perempuan / Dewi ( sebagai Sakti atau Powernya ). Hyang Wisesa adalah Tuhan tersentuh oleh guna dan Ratu Mas Magelung sebagai kekuatan atau Saktinya.
Pada petak / undak  VI symbol lapisan alam keenam ( Maha Loka ) adalah tempat untuk mewujudkan 2 esensi yang abadi yakni Purusa atau unsure rohani dan Prakerti / Prdana sebagi unsur pokok dari alam semesta. Purusa dan Prakti / Prdana ini tertuang dalam system filsafat Hindu yakni Samkhya Darsana. Pengaruh filsafat sangat besar dan menyebar system filsafat di seluruh dunia, hingga di Bali pengaruh ini berkembang menjadi konsep Rwa Bhineda, yakni dua yang berbeda namun saling melengkapi. Perwujudan dari prihal tersebut di petak ini terdapat dua Gedong Kembar yakni Gedong stana Ratu Puncak Tengen sebagai Purusa, dan Gedong satunya lagi stana Ratu Puncak Kiwa sebagai Prakrti / Prdana.
Pada petak / undak VII symbol dari lapisan alam ketujuh ( Satya Loka ). Tempat ini adalah kosong atau hampa. Tempat ini lazim disebut Satya Loka yakni alam Brahman. Brahman yang segala-galanya, tak terbatas, dan tidak bisa dijangkau oleh pemikiran manusia. Ia adalah trnsidental atau nirguna. Di Bali disebut ”Sang Suwung” atau Acintya artinya tak terpikirkan.
Dengan mengamati ke 7 petak atau undak tersebut diatas maka jelaslah bahwa Pura Penataran Agung Besakih merupkan konsep pendakian spiritual umat manusia dalam melakukan hubungan dengan Penciptanya guna memohon karuniaNya.
G.       PURA BATU MADEG
Pura Batu Badeg terletak disebelah utara Pura Penataran Agung Besakih. Pura ini merupakan bagian dari Catur Loka Pala dimana di parhyangan ini distanakan Tuhan / Hyang Widhi dalam manifestasinya sebagai Wisnu.
Nama batu madeg bermula dari watu madeg / ngadeg yakni sebuah batu yang berdiri tegak yang tak lain adalah Siwa-Lingga ( Lingga-Yoni ). Selain itu di Meru tumpang 11 yang merupakan stana Ida Bhatara Sakti Watu Madeg atau dalam konteks Catur Loka Pala disebut Dewa Wisnu, didalam meru tersebut terdapat sebuah batu besar namun sudah pecah.
Pura ini terbagi atas Jeroan pura dan Jaba pura. Di jeroan pura terdapat pelinggih : Bale Pepelik stana Ida Ratu Kelabang Abit, Bebaturan, Bale Pepelik sebagai stan Ida Bhatara Idung Lantang, Bale Pepelik stana Bhatara Gajah Waktra, Bale Pepelik stana Ida Bhatara Batu Dinding, Gedong Sari stana Ida Bhatara Punjung Sari. Seterusnya terdapat Bale Pawedan, Bale Gong, Panggungan, Meru tingkat 9 stana Danghyang Manik Angkeran, Meru tumpang 9 satana Ida Ratu Mas Buncing, Meru tumpang 11 stana Ida Ratu Sakti Wat Madeg ( Dewa Wisnu ), serta Meru tumpang 11 stana Ida Bhatara Bagus Bebotoh.




BAB III
PENUTUP

A.      KESIMPULAN
Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan penulisan berikut adalah kesimpulan yang dapat diperoleh.
1.      Pura Agung Besakih terletak di kaki Gunung Agung kecamatan Rendang Kabupaten Karangasem atau 23 km di utara Kota Klungkung.
2.      Pura Agung Besakih adalah ”Huluning Bali Rajya” yang artinya sebagai kepala atau hulu dari Bhuana.
3.      Sejarah Pura Agung Besakih dimulai dengan kedatangan Rsi Markandeya. Beliau dan pengikutnya merabas hutan namun sebelum itu beliau melakukan upacara yang didahului dengan menanam Panca Dhatu, dan disertai permata mirah dengan segala kelengkapan upacaranya. Semua sarana upacara itu kemudian dinamakan Basuki yang artinya selamat / rahayu. Sejak pemerintahan Sri Kesari Warmadewa hingga silsilah raja Gelgel, pura Besakih menjadi tempat ibadat dimana para raja menyungsung leluhurnya.
4.      Susunan atau struktur 18 pura agung besakih dibagi 3 kesatuan pura-pura, dengan Pura Penataran Agung sebgai sentralnya.
5.      Pura Dalem Puri terletak dijalur Klungkung menuju Penataran Agung, merupakan pura yang paling barat dari kesatuan Pura Agung Besakih.
6.       Pura Penataran Agung Besakih merupakan pusat dari kesatuan Pura Agung Besakih. Atau dengan kata lain sebagai indicator atau barometer spiritual masyarakat Bali. Pura Penataran Agung Besakih terdiri dari 7 petak.
7.      Pura Batu Badeg terletak disebelah utara Pura Penataran Agung Besakih. Pura ini merupakan bagian dari Catur Loka Pala dimana di parhyangan ini distanakan Tuhan / Hyang Widhi dalam manifestasinya sebagai Wisnu.

B.       SARAN-SARAN
Saran-saran yang dapat dipetik dalam penulisan karya ini yaitu, upaya melestarikan dan mengembangkan pengetahuan tentang pusat spiritual masyarakat Bali seperti Pura Besakih dapat dilakukan dengan bermacam-macam cara, seperti halnya pembuatan karya ini. Namun kepentingan tersebut dikembangkan dalam artian bukan saja dari kalangan mahasiswa STKIP Agama Hindu Amlapura, namun sangat penting bagi umat Hindu seluruh Bali, khususnya generasi muda Hindu. Hal itu bisa dilakukan melalui kelompok atau organisasi yang ada baik organisasi formal, informal maupun non formal.


DAFTAR PUSTAKA

 DPD Tk I Peradah Indonesia. 1993. Gunung Agung, Pura Besakih dan Kita : Percetakan Mabhakti.
Soebandi, I Ketut. 1981. Pura Kawitan / Pedharman dan Pura Penyungsungan Jagat. Denpasar : CV Kayumas Agung.
Sukerti, Ni Wayan. 2000. Laporan Hasil Riset Pura-pura di Bali dan Besakih.
Suratmini, Ni Wayan. 2000. Agama Hindu untuk SMU kelas. Denpasar : Ganeca Exac Bandung.
Tim Penyusun. 1987. Pura Besakih. Denpasar : Dinas Kebudayaan Provinsi Dati I Bali.
Wiana, Drs. I K. 1985. Acara III. Jakarta : Copyright Mayasari.
Donder, Drs I Ketut. 2001. Panca Dhatu. Surabaya : Paramita.

MAKALAH TENTANG PURA AGAMA HINDU LENGKAP MAKALAH TENTANG PURA AGAMA HINDU LENGKAP Reviewed by https://numpuktugas.blogspot.com/ on September 22, 2017 Rating: 5

No comments:

Powered by Blogger.