BAB I
PENDAHULUAN
Indonesia secara alamiah adalah negara pertanian dengan budaya pertanian
yang kuat. Bertani, beternak, berburu ikan dilaut adalah keahlian
turun-menurun yang sudah mendarah daging. Teknologi dasar ini sudah
dikuasai sejak jaman nenek moyang. Karena budaya pertanian telah
mendarah daging maka sebagai akibatnya, bahwa dengan usaha yang cukup
minimal, sektor pertanian kita sebenarnya dapat dipacu untuk berproduksi
sebesar-besarnya.
Salah satu masalah produksi tersebut di Indonesia adalah ketidak mampuan
kita menyediakan “teknologi pasca panen”, yang mengakibatkan :
1. Produk pertanian seperti buah-buahan cepat jenuh, sehingga harga mudah jatuh di musim panen, sehingga pengembangan nya secara intensif besar-besaran tidak dimungkinkan.
2. Bargaining power petani sangat lemah menghadapi tengkulak, sehingga kehidupan, kesejahteraan dan “daya beli pada teknologi” akan selalu tetap lemah
3. Kemampuan pengawetan, pengepakan, sehingga bisa menjadikan “produk kualitas ekspor”
andalan masih sangat tergantung pada teknologi luar negeri, sehingga
ketergantungan terhadap produk, uluran tangan dan teknologi akan terjadi
selamanya
4. Bila Indonesia menguasai, dan mampu mengembangkan teknologi “setara dengan teknologi dunia”,
tidak mustahil produk pertanian bisa di maksimalkan menjadi komoditi
ekspor andalan Indonesia, sehingga kemajuan teknologi bisa lainnya bisa
berlangsung dan maju pesat.
Teknologi pasca panen adalah
teknologi multidisiplin, yang melibatkan pakar-pakar,
seperti pakar bahan, manufakturing, teknologi pengolahan pangan, kimia,
pengukuran, gizi, agro-kompleks dan lingkungan.
Kelemahan pengembangan teknologi di Indonesia adalah sinergi antar
disiplin ilmu yang masih sangat rendah. Sinergi adalah akumulasi usaha
difusi dari berbagai ilmu dan teknologi, yang sangat membutuhkan energi,
sehingga untuk mendapatkan produk yang canggih, modern dan
berkehandalan tinggi perlu langkah dan tahapan sistematik, yang
memerlukan dukungan politik dan dana pemerintah dan perguruan tinggi.
Keberpihakan pemerintah terhadap teknologi rakyat perlu ditegaskan,
karena kuat sekali indikasi pemerintah yang lebih mengutamakan akumulasi
kekuatan ekonomi pemerintah dan sektor swasta dari pada pemberdayaan
teknologi produksi rakyat dan penyelesaian pengangguran, yang memang
memerlukan usaha sedikit lebih serius dari pemerintah.
Teknologi pasca panen untuk produk-produk di atas memang sebagian sudah
tersedia di Indonesia, akan tetapi penguasaan pakar Indonesia terhadap
manufaktur, riset dan pengembangan teknologi ini masih sangat lemah.
Oleh sebab itu sulit bagi teknologi ini di Indonesia untuk bisa menjadi
“tulang punggung” produk-produk pertanian, sehingga menjadi komoditi
ekspor unggulan Indonesia.
Teknologi ini harus dikuasai, walaupun harus bertahap. Dengan
pengembangan produk dari yang sederhana hingga produk yang kompleks,
dari skala kecil hingga skala industri, dan dengan akumulasi
langkah-langkah perbaikan berkesinambungan, yang melibatkan usaha
multi-disiplin, teknologi ini akan menjadi teknologi yang sangat
dibutuhkan oleh sebagian besar produk pertanian Indonesia, yang akan
dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat, meningkatkan volume ekspor
non-migas, dan sekaligus ikut berkontribusi cukup berarti dalam
menyelesaikan persoalan pengangguran di Indonesia.
1.2 Rumusan Masalah
· Apa yang dimaksud dengan Farm to table ?
· Bagaimana penerapan teknologi pasca panen dengan good farming practices (cara bertani yang baik) ?
· Bagaimana penerapan teknologi pasca panen dengan good handling practices (cara penanganan hasil panen yang baik)?
· Bagaimana penerapan teknologi pasca panen dengan good manufacturing practices (cara pengolahan hasil pertanian yang baik)?
· Bagaimana penerapan teknologi pasca panen dengan good distribution practices (cara pengangkutan hasil pertanian yang baik)?
· Bagaimana penerapan teknologi pasca panen dengan good retailing practices (cara penyajian yang baik untuk konsumen)?
1.3Tujuan
· Mengetahui pengertian dan penerapan teknologi pasca panen secara Farm to table.
· Mengetahui dan bisa menerapkan good farming practices (cara bertani yang baik),
· Mengetahui dan bisa menerapkan good handling practices (cara penanganan hasil panen yang baik),
· Mengetahui dan bisa menerapkan good manufacturing practices (cara pengolahan hasil pertanian yang baik),
· Mengetahui dan bisa menerapkan good distribution practices (cara pengangkutan hasil pertanian yang baik),
· Mengetahui dan bisa menerapkan good retailing practices (cara penyajian yang baik untuk konsumen).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Good Farming Practicess
Good Farming Practices bertujuan untuk mendapatkan hasil panen yang baik atau bahan baku industri pertanian yang baik. Ciri-ciri keberhasilan Good Farming Practices adalah
hasil panennya secara kuantitas (jumlah); kualitas (nilai gizi dan
keamanan); serta kontinuitas (ketersediaan) dapat diandalkan.
Beberapa tahun belakangan ini, untuk mencapai tujuan Good Farming Practices dikembangkan suatu teknologi rekayasan genetika, yang dikenal dengan nama Genetic Modified Organism
(GMO). Tanaman hasil rekayasa genetika terbukti mempu menghasilkan
hasil panen (buah dan sayur) yang kuantitas, kualitas, dan
kontinuitasnya dapat diandalkan.
Good Handling Practices
Good Handling Practices merupakan salah satu usaha untuk
meminimalkan kerusakan pada bahan pertanian pasca panen. Tahapan
penanganan pasca panen hasil pertanian yang sering dilakukan antara lain
sortasi, pembersihan/pencucian, dan grading. Inovasi teknologi tepat
guna telah banyak diaplikasikan pada beberapa tahapan pasca panen,
seperti pada proses pembersihan/pencucian dan proses grading.
Pencucian merupakan suatu upaya untuk membuang kotoran pada permukaan
kulit buah atau sayuran, sekaligus dapat mengurangi residu pestisida dan
hama penyakit yang terbawa, sebelum komoditi tersebut dikonsumsi atau
diolah lebih lanjut.
Good Manufacturing Practices
Tujuan utama Good Manufacturing Practices adalah menciptakan
produk olahan secara sensoris diterima dan aman apabila dikonsumsi.
Inovasi dan teknologi merupakan tulang punggung dalam untuk mencapai
tujuan tersebut.Peranan inovasi dan teknologi untuk menciptakan produk
olahan yang secara sensoris diterima konsumen dapat terlihat jelas pada
pengolahan produk-produk pangan lokal, seperti sagu, ketela pohon, ubi
jalar, dan umbi-umbian. Tujuan inovasi pengolahan bahan lokal tersebut,
terutama untuk mensejajarkan nilainya dengan beras atau tepung terigu di
mata konsumen. Teknologi penepungan merupakan salah satu contoh yang
baik untuk diaplikasikan pada bahan lokal.
Good Distribution Practices
Good Distribution Practices diperlukan untuk meminimalkan
kerusakan selama proses distibusi.Pada prinsipnya, produk pertanian
harus sampai di tangan konsumen dalam kondisi yang baik. Proses
distribusi berresiko untuk mempercepat terjadinya kerusakan, sebab
kemungkinan terjadinya tekanan mekanis yang dapat menyebabkan luka atau
memar sangat besar. Oleh karena itu, diperlukan berbagai inovasi bahan
pengemas dan pelindung, agar produk pertanian terhindar dari sinar
matahari, tekanan mekanis, pukulan, getaran, maupun benturan yang dapat
menyebabkan luka dan memar selama proses distribusi.
Waktu yang dibutuhkan selama perjalanan, juga berpengaruh terhadap
kerusakan bahan pertanian. Semakin lama waktu yang dibutuhkan untuk
proses distribusi, maka semakin besar juga kemungkinan terjadi penurunan
mutu bahan pertanian. Hal ini disebabkan, bahan pertanian masih
mengalami proses fisiologis, seperti respirasi dan transpirasi, meskipun
bahan pertanian tersebut sudah lepas dari tanaman induknya (sudah
dipanen) (Weichmann, 1987).
Good Retailing Practices
Good Retailing Practices merupakan tahap terakhir untuk menjaga
mutu produk pertanian sampai ke tangan konsumen. Saat ini tuntutan
konsumen terhadap suatu barang sangat beragam. Khusus untuk
produk-produk pertanian, konsumen menginginkan barang yang masih segar
dan berkualitas tinggi. Padahal, lahan pertanian biasanya berada jauh
dari konsumen, sehingga membutuhkan waktu untuk distribusi. Hal itu
tentu saja berresiko menurunkan kesegaran dan menimbulkan kerusakan
mekanis produk-produk pertanian. Dengan demikian diperlukan inovasi
teknologi untuk mengatasi permasalahan tersebut.
BAB III
From Farm to Table
Untuk meningkatkan nilai tambah hasil pertanian, teknologi diperlukan
selama budidaya, penanganan pasca panen, dan pengolahan hasil pertanian.
Untuk meningkatkan daya saing di mata konsumen dan laba dari
produk-produk pertanian, teknologi juga diperlukan selama distribusi dan
penjualan (penyajian). Dapat disimpulkan bahwa teknologi diperlukan
sejak berada di lahan hingga disajikan di hadapan konsumen (from farm to table).
Teknologi tersebut diperlukan untuk mendukung pelaksanaan setiap tahap farm to table, yaitu good farming practices (cara bertani yang baik), good handling practices (cara penanganan hasil panen yang baik), good manufacturing practices (cara pengolahan hasil pertanian yang baik), good distribution practices (cara pengangkutan hasil pertanian yang baik), dan good retailing practices (cara penyajian yang baik untuk konsumen).
2.1 Good Farming Practices
Pertanian berkelanjutan telah menjadi dasar penyusunan standar prosedur
operasi Praktek Pertanian yang Baik (PPB) atau dikenal pula dengan
istilah Good Agricultural Practices (GAP) (Achmad-Suryana,
2005). GAP merupakan rekomendasi yang dapat digunakan untuk membantu
meningkatkan kualitas dan keamanan tanaman pertanian selama
dibudidayakan. Dalam hal ini GAP dapat difokuskan menjadi dasar
pelaksanaan Good Farming Practices (GFP). Good Farming Practices bertujuan untuk mendapatkan hasil panen yang baik atau bahan baku industri pertanian yang baik. Ciri-ciri keberhasilan Good Farming Practices adalah
hasil panennya secara kuantitas (jumlah); kualitas (nilai gizi dan
keamanan); serta kontinuitas (ketersediaan) dapat diandalkan.
Beberapa tahun belakangan ini, untuk mencapai tujuan Good Farming Practices dikembangkan suatu teknologi rekayasan genetika, yang dikenal dengan nama Genetic Modified Organism
(GMO). Tanaman hasil rekayasa genetika terbukti mempu menghasilkan
hasil panen (buah dan sayur) yang kuantitas, kualitas, dan
kontinuitasnya dapat diandalkan. Bahkan buah-buahan yang dihasilkan
secara sensoris dapat memenuhi keinginan konsumen. Tetapi sampai saat
ini teknologi GMO tersebut masih diperdebatkan, karena sebagian ahli
pangan dan kesehatan masih mempertanyakan keamanan produk-produk hasil
rekayasa genetika. Hal yang perlu digarisbawahi adalah teknologi
rekayasa genetika mampu menjawab tantangan untuk memenuhi keinginan
konsumen akan suatu produk pertanian. Jika masih ada yang sebagian ahli
yang mempertanyakan keamanannya, maka teknologi rekayasa genetika harus
terus dikembangkan untuk menghasilkan produk-produk yang aman secara
meyakinkan.
Sejalan dengan konsep pertanian berkelanjutan, di dalam Good Farming Practices juga
ditekankan pentingnya aspek ekologi, terutama untuk menghindari
penurunan kesuburan tanah pertanian. Penggunaan pupuk kimia yang selama
ini diterapkan secara nyata telah merusak ekologi tanah, sehingga
semakin lama kesuburan tanah semakin berkurang. Oleh karena itu,
penggunaan pupuk organik kembali digalakkan. Salah satu kelemahan pupuk
organik adalah bentuk dan ukurannya yang tidak teratur, sebab terbuat
dari campuran kompos, kotoran hewan ternak, dan bahan lain, sehingga
menghambat penerapannya di lapangan. Di sini salah satu peran teknologi
menjadi cukup menonjol. Dengan adanya inovasi teknologi, telah
diciptakan instalasi mesin Pupuk Organik Granul (POG). Inovasi teknologi
ini mampu menjadikan pupuk organik yang tidak bentuk dan ukurannya
tidak beraturan menjadi pupuk organik yang berbentuk butiran padat
dengan ukuran 2-4 mm pada tingkat kekerasan tertentu, sehingga
mempermudah penggunaannya di lapangan.
Kesadaran tentang pentingnya pertanian berkelanjutan sudah menjadi trend
global. Bahkan akhir-akhir ini negara-negara yang tergabung dalam Kerja
Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) menyepakati untuk melakukan
pembangunan sektor pertanian secara berkelanjutan. Hal itu merupakan
salah satu kesepakatan yang dihasilkan dalam Pertemuan Tingkat Menteri
APEC tentang Ketahanan Pangan yang pertama (The 1st APEC Ministerial Meeting On Food Security) diselenggarakan Nigata, Jepang pada 16-17 Oktober 2010.
Pada kesempatan itu disepakati deklarasi tentang ketahanan pangan di kawasan Asia Pasifik atau Nigata Declaration on APEC Food Security
yang mana Indonesia berhasil memasukkan dua hal terkait upaya
pencapaian Ketahanan Pangan berkelanjutan. Kedua hal itu adalah
pentingnya diversifikasi pangan berbasis sumberdaya lokal dan pentingnya
kerjasama regional dalam mengatasi permasalahan kerawanan pangan
darurat di kawasan (Antara, 2010).
Langkah kembali kepada sumber daya lokal juga merupakan salah satu penerapan Good Farming Practices.
Selama ini, akibat kebijakan era orde baru, tanaman pangan yang
digalakkan untuk dibudidayakan hanya padi dan jagung. Tanaman pangan
lain, seperti sagu, ketela pohon, ubi jalar, umbi-umbian seperti uwi,
talas, suweg, garut, ganyong, gadung, pisang, sukun, labu kuning, dan
sebagainya menjadi dianggap inferior dan dipandang sebelah mata oleh
masyarakat. Akibatnya, berbagai tanaman asli nusantara tersebut
perlahan-lahan mulai menghilang. Padahal menurut Murdijati-Gardjito
(2010a), potensi jenis pangan di Indonesia ini sangat menakjubkan,
karena telah diidentifikasi, ada 77 macam tanaman sumber karbohidrat, 75
macam sumber lemak, 26 jenis kacang-kacangan, 389 jenis buah-buahan,
226 jenis sayuran, dan 110 jenis rempah-rempah.
Potensi yang melimpah tersebut sama sekali belum dioptimalkan oleh
negara. Justru yang terjadi adalah impor bahan pangan, terutama impor
tepung terigu untuk keperluan industri dalam negeri. Hal tersebut
menjadikan Indonesia sebagai negara pengimpor pangan terbesar no 2 di
dunia dengan nilainya ± Rp 50 triliun atau setara dengan 5 milyar US
Dollar (Kompas, 19/06/2010). Oleh sebab itu, alangkah baiknya apabila
pertanian di Indonesia kembali membudidayakan potensi pangan nusantara.
Setelah sumber daya lokal tersebut kembali digalakkan, selanjutnya
inovasi dan teknologi berperan besar dalam mengolah ubi kayu, ubi jalar,
dan umbi-umbian lain tersebut menjadi pangan yang setara dengan beras
atau tepung terigu.
2.2 Good Handling Practices
Bahan pertanian merupakan bahan yang mudah mengalami proses kerusakan (perishable), sehingga penanganan bahan pertanian harus dilakukan dengan hati-hati. Good Handling Practices
(GHP) adalah cara penanganan pascapanen yang baik yang berkaitan dengan
penerapan teknologi serta cara pemanfaatan sarana dan prasarana yang
digunakan. Good Handling Practices merupakan salah satu usaha
untuk meminimalkan kerusakan pada bahan pertanian pasca panen. Tahapan
penanganan pasca panen hasil pertanian yang sering dilakukan antara lain
sortasi, pembersihan/pencucian, dan grading. Inovasi teknologi tepat
guna telah banyak diaplikasikan pada beberapa tahapan pasca panen,
seperti pada proses pembersihan/pencucian dan proses grading.
Pencucian merupakan suatu upaya untuk membuang kotoran pada permukaan
kulit buah atau sayuran, sekaligus dapat mengurangi residu pestisida dan
hama penyakit yang terbawa, sebelum komoditi tersebut dikonsumsi atau
diolah lebih lanjut. Pencucian dapat berfungsi juga untuk pre-cooling,
yaitu untuk menurunkan suhu bahan pertanian, agar laju respirasi bahan
pertanian tersebut semakin lambat, dan laju kerusakannya semakin lambat
pula. Dalam skala industri, inovasi teknologi telah mempermudah proses
pencucian buah atau sayuran ini. Hal ini terbukti dengan terciptanya
alat pencuci buah atau alat pencuci sayuran. Tidak dapat dibayangkan
jika tidak ada alat pencuci buah atau sayur, padahal suatu industri
harus mencuci berton-ton buah atau sayur dalam sehari.
Inovasi teknologi tepat guna juga telah banyak diaplikasikan pada proses
grading buah-buahan, contohnya pada buah jeruk. Jeruk dapat dipisahkan
berdasarkan ukurannya dengan suatu mesin, dimana tingkat ukuran tiap grade dapat diatur. Mesin grading terdiri dari beberapa bagian yaitu hopper, meja sortasi yang terdapat lubang untuk pengeluaran, penggerak dan transmisi, serta frame. Alat grading buah jeruk ini bekerja berdasarkan prinsip gravitasi. Buah jeruk cukup dicurahkan pada hopper,
selanjutnya buah menggelinding di dalam meja sortasi. Buah jeruk yang
diameter vertikalnya lebih kecil dari diameter lubang, akan lolos atau
jatuh akibat beratnya sendiri, sedangkan buah jeruk yang belum lolos
akan menggelinding menuju lubang pengeluaran yang lebih besaur yang
terdapat di bawahnya. Sekali lagi teknologi membuktikan pera
strategisnya dalam bidang pertanian.
2.3 Good Manufacturing Practices
Good Manufacturing Practices (GMP), dikenal pula dengan nama Cara
Produksi Pangan yang Baik (CPPB), merupakan sekumpulan
ketentuan/pedoman untuk melaksanakan proses produksi dengan baik dan
benar. Tujuan utama Good Manufacturing Practices adalah
menciptakan produk olahan secara sensoris diterima dan aman apabila
dikonsumsi. Inovasi dan teknologi merupakan tulang punggung dalam untuk
mencapai tujuan tersebut.
Peranan inovasi dan teknologi untuk menciptakan produk olahan yang
secara sensoris diterima konsumen dapat terlihat jelas pada pengolahan
produk-produk pangan lokal, seperti sagu, ketela pohon, ubi jalar, dan
umbi-umbian. Tujuan inovasi pengolahan bahan lokal tersebut, terutama
untuk mensejajarkan nilainya dengan beras atau tepung terigu di mata
konsumen. Teknologi penepungan merupakan salah satu contoh yang baik
untuk diaplikasikan pada bahan lokal. Menurut Murdijati-Gardjito
(2010b), dalam bentuk tepung akan mempunyai kadar air yang lebih rendah.
Selain itu, tepung lebih mudah didistribusikan, lebih awet, serta lebih
luwes penggunaannya, seperti bubur, puding, kue basah, kue kering, dan
berbagai macam hidangan lain.
Inovasi dan teknologi penepungan tersebut sampai sekarang masih
dikembangkan oleh para peneliti dan ahli pangan di seluruh dunia.
Penelitian yang masih dikembangkan antara lain penelitian mengenai
tepung ubi kayu (Arye, et al., 2006; Falade, et al., 2007; Shittu, et al., 2008; Sciarini,et al., 2008; Akingbala, et al., 2009), penelitian mengenai tepung ubi jalar (Yadav, et al., 2006; Jasim-Ahmed, et al., 2006; Zaidul, et al., 2008; Krishnan, et al., 2010), penelitian mengenai tepung sagu (Purwani, et al., 2006; Wong, et al., 2007; Singhal, et al., 2008; Datu, et al., 2010), penelitian mengenai tepung pisang (Zhang, et al., 2005; Rodríguez-Ambriz, et al., 2008; Nwokocha., et al., 2009; Martinez, et al., 2009; Chong Li Choo, et al., 2010), serta penelitian mengenai umbi-umbian lainnya (Pe´rez, et al., 2005; Jaykodi, et al.,
2007; Sutardi, et al., 2009). Harapannya, penelitian-penelitian
tersebut dapat menghasilkan teknologi untuk memproduksi tepung secara
optimal, dan selanjutnya tepung tersebut dapat diolah lebih lanjut
menjadi produk yang secara sensoris dapat diterima oleh konsumen.
Peranan inovasi dan teknologi untuk menciptakan produk olahan yang aman
untuk dikonsumsi juga signifikan. Inovasi tersebut diperlukan untuk
menghilangkan mikroorganisme patogen atau senyawa berbahaya dalam bahan
pertanian. Sejak ditemukan teknik sterilisasi dan pasteurisasi untuk
menghilangkan mikrobia patogen pada produk pangan, teknologi untuk
menciptakan produk yang aman terus berkembang. Tetapi teknologi yang
dikembangkan masih melibatkan panas (thermal process). Kemudian,
diketahui bahwa proses yang melibatkan panas dapat menurunkan nilai gizi
atau mutu bahan pertanian, sehingga saat ini trend pengembangan
teknologi tersebut mengarah pada proses-proses non-thermal (tidak melibatkan panas).
Salah satu contoh untuk proses non-thermal untuk menciptakan makanan yang aman dikonsumsi adalah High Hydrostatic Pressure
(HHP). HHP salah satu metode untuk mengurangi populasi mikrobia dalam
pangan dengan tekanan yang tinggi tanpa penambahan panas (Cheftel,
1995). Proses ini dapat mempertahankan kualitas sensoris bahan pangan,
mempertahankan kesegaran alaminya, mempertahankan nilai gizinya, serta
memperpanjang umur simpan bahan pangan. Contoh aplikasi HHP pada hasil
pertanian antara lain kubis (Lin Li, et al., 2010); wortel, apel, kacang hijau (Yucel, et al., 2010); raspberry, strawberry (Palazon, et al., 2004); dan sebagainya. Bahkan HHP dapat diaplikasikan juga pada susu (Dongsheng Guan, et al., 2005); yoghurt (Penna, et al., 2007); daging (Zhou, et al., 2010); keju (Delgado, et al., 2010); dan juice (Ferrari, et al., 2010).
Selain HHP, contoh-contoh proses non-thermal yang telah ditemukan dan dapat diaplikasikan pada bidang pangan/pertanian antara lain light pulse (Barbosa, 1997); Radio Frequency Electric Fields (Gaveke, 2007); ultrasonic (Elvira, 2007); teknologi isotop dan radiasi; HIPEF (high intensity pulsed electric field) (Morales, 2010); teknologi pasteurisasi dengan electron beam (Salengke, 2011); dan sebagainya. Selanjutnya, berbagai teknologi non-thermal
tersebut diharapkan dapat dikembangkan lagi untuk menciptakan
produk-produk olahan hasil pertanian yang aman dikonsumsi, dengan tetap
mempertahankan nilai gizi dan mutunya.
Ketentuan Good Manufacturing Practices mulai diperkenalkan pada akhir Tahun 1980-an. Setelah itu Good Manufacturing Practices mengalami perkembangan menjadi HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point), dan selanjutnya mengalami penyempurnaan menjadi ISO 22000:2005 tentang Sistem Manajemen Keamanan Pangan. Ketiga
hal tersebut pada prinsipnya sama, yaitu untuk menciptakan dan menjamin
keamanan produk pangan. Hal yang perlu ditekankan adalah ketiga pedoman
tersebut tidak akan dapat dilaksanakan dengan baik, tanpa dukungan
teknologi.
Saat ini, indikator proses produksi yang baik oleh suatu industri
ternyata bukan hanya dihasilkannya produk yang secara sensori dan
keamanannya memenuhi kriteria yang diinginkan konsumen. Lebih jauh dari
itu, indikator proses produksi yang baik adalah tidak adanya limbah yang
ditinggalkan oleh industri tersebut (zero waste). Bahkan ada
semacam kesepakatan tidak tertulis bagi orang-orang yang peduli terhadap
lingkungan bahwa mereka tidak akan membeli/mengkonsumsi barang-barang
yang dihasilkan suatu indsutri yang masih meninggalkan limbah dan
merusak lingkungan. Tuntutan jaman seperti ini lah yang sekali lagi
harus dijawab oleh inovasi teknologi. Teknologi harus terus dikembangkan
untuk meminimalisir limbah yang dihasilkan dari suatu proses produksi.
Jika suatu proses produksi masih menyisakan limbah, inovasi teknologi
harus mampu mendaur ulang limbah tersebut menjadi produk lain yang
bermanfaat. Jika limbah yang dihasilkan ternyata tidak dapat didaur
ulang, maka teknologi harus dapat menangani limbah tersebut agar tidak
berbahaya bagi manusia. Hal ini sesuai dengan prinsip pengelolaan limbah
yang harus dilakukan secara berurutan yaitu (a) minimalisasi limbah,
(b) pemanfaatan limbah, dan (c) penanganan limbah.
2.4 Good Distribution Practices
Telah disebutkan di atas, bahwa bahan pertanian mudah mengalami
kerusakan. Kerusakan bahan pertanian dapat disebabkan beberapa hal yaitu
kerusakan fisiologis (kerusakan yang disebabkan oleh reaksi-reaksi yang
diakibatkan oleh kerja enzim), mikrobiologis (kerusakan akibat serangan
mikroorganisme), mekanis (kerusakan akibat tekanan sehingga menimbulkan
luka atau memar), fisis (kerusakan akibat suhu yang terlalu tinggi atau
terlalu rendah), serta khemis (kerusakan alami akibat proses pemasakan
buah). Good Distribution Practices diperlukan untuk meminimalkan kerusakan selama proses distibusi.
Pada prinsipnya, produk pertanian harus sampai di tangan konsumen dalam
kondisi yang baik. Proses distribusi berresiko untuk mempercepat
terjadinya kerusakan, sebab kemungkinan terjadinya tekanan mekanis yang
dapat menyebabkan luka atau memar sangat besar. Oleh karena itu,
diperlukan berbagai inovasi bahan pengemas dan pelindung, agar produk
pertanian terhindar dari sinar matahari, tekanan mekanis, pukulan,
getaran, maupun benturan yang dapat menyebabkan luka dan memar selama
proses distribusi.
Waktu yang dibutuhkan selama perjalanan, juga berpengaruh terhadap
kerusakan bahan pertanian. Semakin lama waktu yang dibutuhkan untuk
proses distribusi, maka semakin besar juga kemungkinan terjadi penurunan
mutu bahan pertanian. Hal ini disebabkan, bahan pertanian masih
mengalami proses fisiologis, seperti respirasi dan transpirasi, meskipun
bahan pertanian tersebut sudah lepas dari tanaman induknya (sudah
dipanen) (Weichmann, 1987). Respirasi merupakan proses oksidasi substrat
komplek menjadi lebih sederhana (Lambers, et al., 2005),
sehingga semakin cepat respirasi akan semakin mempercepat kerusakan
bahan pertanian. Kecepatan respirasi antara lain dipengaruhi oleh suhu,
konsentrasi O2, konsentrasi CO2, serta konsentrasi
CO (Ryall dan Lipton, 1972). Berdasarkan pengertian tersebut,
diperlukan inovasi dan teknologi untuk mengendalikan laju respirasi
bahan pertanian selama distribusi. Inovasi teknologi mampu menjawab
tantangan dengan terciptanya kontainer distribusi yang dapat diatur
suhu, kelembaban udara, komposisi udara, bahkan tekanannya. Alat
tersebut dikenal dengan nama Controlled Atmosphere Storage (CAS), Modified Atmosphere Storage
(MAS), penyimpanan dengan pendinginan, dan penyimpanan hipobarik. Saat
ini, teknologi tersebut telah digunakan secara luas karena terbukti
efektif untuk mencegah kerusakan bahan pertanian selama distribusi.
2.5 Good Retailing Practices
Good Retailing Practices merupakan tahap terakhir untuk menjaga
mutu produk pertanian sampai ke tangan konsumen. Saat ini tuntutan
konsumen terhadap suatu barang sangat beragam. Khusus untuk
produk-produk pertanian, konsumen menginginkan barang yang masih segar
dan berkualitas tinggi. Padahal, lahan pertanian biasanya berada jauh
dari konsumen, sehingga membutuhkan waktu untuk distribusi. Hal itu
tentu saja berresiko menurunkan kesegaran dan menimbulkan kerusakan
mekanis produk-produk pertanian. Dengan demikian diperlukan inovasi
teknologi untuk mengatasi permasalahan tersebut.
Kesegaran produk pertanian sangat dipengaruhi oleh proses transpirasi
(menguapnya air dari subtrat) yang masih berlangsung, meskipun bahan
pertanian tersebut telah dipanen. Proses transpirasi berlangsung terus
menerus dan akan berakhir apabila substrat dan air sudah habis
(Sirivatanapa, 2006), sehingga menentukan kualitas dan masa simpan bahan
hasil pertanian (Tan, 2007). Menurut Ben-Yehoshua (1987), transpirasi
dapat menurunkan kualitas buah dan sayuran dengan terjadinya penurunan
berat, pengkerutan, dan pelunakan. Penurunan kadar air 1-2% sudah mampu
merubah kenampakan bahan pertanian, sedangkan penurunan kadar air 3-10%
mengakibatkan penurunan kesegaran.
Salah satu contoh inovasi teknologi di bidang pertanian yang dapat
menekan laju transpirasi tersebut adalah pelapisan lilin, sebab dengan
pelapisan sebagian pori dan kulit tertutup oleh lapisan lilin. Selain
itu, pengemasan lilin ternyata bermanfaat untuk menekan laju respirasi
(Roosmani, 1973); memperpanjang umur simpan produk hortikultura,
menutupi luka-luka goresan kecil (Pantastico, 1986); menurunkan resiko
terjadinya memar dan abrasi pada permukaan buah (Buchner, et al.,
2003), mencegah infeksi patogen (Loekas, 2006), sekaligus menimbulkan
kesan yang lebih baik secara fisik karena lebih mengkilat (Prusky, et al.,
1999). Produk pertanian yang dapat diperlakukan dengan pelapisan lilin
antara lain alpukat, apel, cabai, jeruk, kentang, mangga, nanas, pepaya,
pisang, starwberry, tomat, dan wortel. Hal yang perlu diperhatikan
adalah pelapis lilin yang digunakan harus aman untuk dikonsumsi, mudah
dibuat dan diaplikasin, serta murah harganya. Oleh karena itu, inovasi
dan penelitian untuk membuat pelapis lilin produk pertanian masih terus
dikembangkan.
Sementara itu, untuk mencegah kerusakan mekanis, diperlukan pengemas
retail yang baik, yang mampu melindungi dari tekanan atau gesekan,
sekaligus memperindah penampilan. Contoh pengemas retail yang dapat
memenuhi kriteria tersebut adalah pengemas jaring-jaring polysteren
pada buah apel atau pir. Pengemas retail buah apel dan pir tersebut
mungkin dapat dijadikan inspirasi untuk berinovasi menciptakan
pengemas-pengemas retail bagi produk pertanian lainnya.
BAB IV
SIMPULAN
Teknologi merupakan penunjang penting bagi setiap produksi pertanian. Dibutuhkan dalam proses dari from farm to table. Setiap produk pertanian bernilai jual jika teknologi ikut berperan didalamnya. Teknologi-teknologi itu diantaranya :
· Good farming practices atau cara bertani yang baik,
· Good handling practices atau cara penanganan hasil panen yang baik,
· Good manufacturing practices atau cara pengolahan hasil pertanian yang baik,
· Good distribution practices atau cara pengangkutan hasil pertanian yang baik, dan
· Good retailing practices atau cara penyajian yang baik untuk konsumen.
MAKALAH GIZI DAN PANGAN
Reviewed by https://numpuktugas.blogspot.com/
on
April 21, 2015
Rating:
No comments:
Post a Comment