(Laporan Praktikum Pengendalian Hama Tanaman)
HAMA-HAMA TANAMAN PANGAN HORTIKULTURA DAN PERKEBUNAN
Oleh
JURUSAN
AGROTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS ANDI DJEMMA
2016
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Seiring
dengan meningkatnya jumlah penduduk dan kebutuhan manusia akan bahan pangan dan
hortikultura, maka pertanian tradisional di Indonesia mulai berkembang dan
lebih dipuerhatikan lagi perkembangannya. Tanaman pangan merupakan jenis–jenis
tanaman yang mengandung karbohidrat,yang merupakan sumber pangan bagi
manusia,sedangkan tanaman hortikultura merupakan tanaman sayur-sayuran dan
buah-buahan yang mengandung protein dan lainnya.
Pada bubidaya pertanian petani
sering menghadapi suatu masalah besar berupa gangguan hama dan
penyakit serta ketidak seimbangan hara. Beberapa serangan hama dan penyakit,
sering kali menampilkan keragaan yang serupa tapi tak sama dengan
ketidakseimbangan hara. Hama adalah organisme yang
dianggap merugikan dan tak diinginkan dalam kegiatan sehari-hari manusia.
Walaupun dapat digunakan untuk semua organisme, dalam praktik istilah ini
paling sering dipakai hanya kepada hewan.
Dalam pertanian, hama adalah organisme
pengganggu tanaman yang menimbulkan kerusakan secara fisik, dan ke dalamnya
praktis adalah semua hewan yang menyebabkan kerugian dalam pertanian.
Hama dari jenis serangga dan
penyakit merupakan kendala yang dihadapi oleh setiap para petani yang selalu
mengganggu perkembangan tanaman budidaya dan hasil produksi pertanian. Hama dan penyakit tersebut merusak bagian
suatu tanaman, sehingga tanaman akan layu dan bahkan mati Dalam kegiatan
pengendalian hama, pengenalan terhadap jenis-jenis hama (nama umum, siklus
hidup, dan karakteristik), inang yang diserang, gejala serangan, mekanisme
penyerangan
termasuk tipe alat makan serta gejala kerusakan tanaman menjadi sangat penting
agar tidak melakukan kesalahan dalam mengambil langkah/tindakan pengendalian. Serangan
hama pada suatu tanaman akan menimbulkan gejala yang khas, hal ini terkait
dengan alat mulut serta perilaku yang dimiliki oleh masing-masing serangga yang
juga memiliki ciri khas tersendiri.
1.2 Tujuan Praktikum
Adapun
tujuan dilakukannya praktikum ini adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui jenis hama penting pada tanaman pangan hortikultura
dan perkebunan.
2. Mengetahui gejala kerusakan,bioekologi dan
cara pengendalian hama tanaman pangan, hortikultura dan perkebunan.
BAB II
METODOLOGI
PRAKTIKUM
2.1 Waktu dan Tempat
Praktikum ini dilaksanakan pada
tanggal 6 April
2016 di Laboratorium Hama
dan Penyakit Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Lampung,
pada pukul 15.00 sampai dengan selesai.
2.2 Alat
dan Bahan
Adapun alat yang digunakan dalam
praktikum ini adalah alat tulis berupa pensil atau pena, kertas, dan telepon
genggam. Sedangkan bahan yang digunakan adalah Spesimen berupa walang sangit (Leptoconsa oratorius), Pengisap polong (Riptortu linearis), Belalang kayu (Valanga nigricornis), Ulat grayak (Spodoptera litura), Pengisap buah kakao (Helopeltis sp), Kumbang kelapa (Orychetes
rhinoceros), Kutu putih Kopi (Ferrisa
virgata).
2.3 Cara Kerja
Adapun
cara kerja praktikum ini yaitu pertama-tama praktikan diberi penjelasan tentang
kegiatan praktikum. Disediakan
spesimen.. Kemudian
diamati dan
ditulis deskripsi gejalanya
dan tipe mulut dari hama tersebut. Setelah itu spesimen difoto.
BAB III
HASIL
PENGAMATAN DAN PEMABAHASAN
3.1 Hasil
Pengamatan
No.
|
Nama
dan Foto
|
Keterangan
|
1.
|
Walang Sangit
|
Walang sangit (Leptocorisa oratorius) mengalami
metamorfosis sederhana yang perkembangannya dimulai dari stadia telur, nimfa
dan imago
|
2.
|
Pengisap Polong
|
Siklus hidup Riptortus. linearis meliputi stadium
telur, nimfa yang terdiri atas lima instar, dan stadium imago
|
3.
|
Belalang Kayu
|
Daur hidup Valanga
nigricornis termasuk pada kelompok metamorfosis tidak sempurna. Pada kondisi
laboratorium daur hidup dapat mencapai 6,5 bulan sampai 8,5 bulan. Fekunditas
rata-ratanya mencapai 158 butir
|
4.
|
Ulat Grayak
|
Ulat grayak memiliki ciri
khas, yaitu terdapatnya 2 bintik hitam berbentuk bulan sabit pada ruas
abdomen ke 4 dan 10 yang dibatasi oleh alur-alur lateral dan dorsal berwarna
kuning yang nemanjang sepanjang badan
|
5.
|
Pengisap Buah Kakao
|
Air liur serangga ini sangat
beracun sehingga pada bagian tanaman yang terkena tusukan melepuh dan
berwarna coklat tua. Serangan pada titik tumbuh dapat mengakibatkan mati
pucuk sehingga pertumbuhan tanaman terhambat.
|
6.
|
Kumbang Kelapa
|
Larva Kumbang Kelapa
(Oryctes rynoceros) yang baru menetas berwarna putih dan setelah dewasa
berwarna putih kekuningan, warna bagian ekornya agak gelap dengan panjang
7-10 cm.
|
7.
|
Kutu Putih Kopi
|
Kutu putih mengisap cairan
dari tanaman kopi dengan mulut yang seperti jarum. Dia menyerang banyak jenis
tanaman selain kopi, termasuk lamtoro, jambu mete, kakao, jeruk, kapas,
tomat, singkong, dll.
|
3.2 Pembahasan
1. Walang Sangit
Bioekologi
Walang sangit juga mempunyai inang alternative yang berupa tanaman
rumput-rumputan antara lain Panicum spp;
Andropogon sorgum; Digitaria
consanguinaria; Eleusine coracoma; Setaria italica; Cyperus polystachys,
Paspalum spp; dan Pennisetum typhoideum .
Walang sangit (Leptocorisa oratorius) mengalami metamorfosis sederhana
yang perkembangannya dimulai dari stadia telur, nimfa dan imago Walang sangit
dewasa meletakkan telur pada bagian atas daun tanaman khususnya pada area daun
bendera tanaman padi. Lama periode
bertelur 57 hari dengan total produksi terlur per induk + 200 butir. Lama
stadia telur 7 hari, terdapat lima instar pertumbuhan nimpa yang total lamanya
+ 19 hari. Lama preoviposition + 21 hari, sehingga lama satu siklus hidup hama
walang sangit + 46 hari(Borror,1992).
Telur setelah menetas menjadi nimfa aktif bergerak ke malai mencari
bulir padi yang masih stadia masak susu sebagai makananan. Nimpa-nimpa dan
dewasa pada siang hari yang panas bersembunyi dibawah kanopi tanaman. Serangga
dewasa pada pagi hari aktif terbang dari rumpun ke rumpun sedangkan penerbangan
yang relatif jauh terjadi pada sore atau malam hari. Tanaman padi berbunga dewasa walang sangit
pindah ke pertanaman padi dan berkembang biak satu generasi sebelum tanaman
padi tersebut dipanen. Banyaknya generasi dalam satu hamparan pertanaman padi
tergantung dari lamanya dan banyaknya interval tanam padi pada hamparan
tersebut. Makin serempak tanam makin sedikit jumlah generasi perkembangan hama
walang sangit(Borror,1992).
Di alam hama walang sangit diketahui diserang oleh dua jenis
parasitoid telur yaitu Gryon nixoni Mesner dan O. malayensis Ferr. Parasitasi
kedua parasitoid ini di lapangan dibawah 50%. Pengamatan yang dilakukan pada
tahun 1997 dan 2000 pada beberapa daerah di Jawa Barat menunjukkan parasitoid
G. nixoni lebih dominan dibandingkan dengan parasitoid O. malayensis.
Parasitoid O. malayensis hanya ditemukan pada daerah pertanaman padi di daerah
agak pegunungan dimana disamping pertanaman padi banyak ditanaman palawija
seperti kedelai atau kacang panjang O. malayensis selain menyerang telur walang
sangit juga menyerang telur hama Riptortus linearis dan Nezara viridula yang
merupakan hama utama tanaman kedelai. Berbagai jenis laba-laba dan jenis
belalang famili Gryllidae dan Tettigonidae menjadi predator hama walang sangit.
Jamur Beauveria sp juga merupakan musuh alami walang sangit. Jamur ini menyerang
stadia nimpa dan dewasa(Borror,1992).
a. Pengendalian Secara Kultur Teknik
Sampai sekarang belum ada varietas padi yang tahan terhadap hama
walang sangit. Berdasarkan cara hidup walang sangit, tanam serempak dalam satu
hamparan merupakan cara pengendalian yang sangat dianjurkan. Setelah ada
tanaman padi berbunga walang sangit akan segera pindah dari rumput-rumputan
atau tanaman sekitar sawah ke pertanaman padi yang pertama kali berbunga. Sehingga
jika pertanaman tidak serempak pertanaman yang berbunga paling awal akan
diserang lebih dahulu dan tempat berkembang biak . Pertanaman yang paling
lambat tanam akan mendapatkan serangan yang relatif lebih berat karena walang
sangit sudah berkembang biak pada pertanaman yang berbunga lebih dahulu.
Dianjurkan beda tanam dalam satu hamparan tidak lebih dari 2,5 bulan.
Plot-plot kecil ditanam lebih awal dari pertanaman sekitarnya dapat
digunakan sebagai tanaman perangkap. Setelah tanaman perangkap berbunga walang
sangit akan tertarik pada plot tanaman perangkan dan dilakukan pemberantasan
sehingga pertanaman utama relatif berkurang populasi walang sangitnya.
b. Pengendalian Secara Biologi
Potensi agens hayati pengendali hama walang sangit masih sangat
sedikit diteliti. Beberapa penelitian telah dilakukan terutama pemanfaatan
parasitoid dan jamur masih skala rumah kasa atau semi lapang. Parasitoid yang
mulai diteliti adalah O. malayensis sedangkan jenis jamurnya adalan Beauveria
sp dan Metharizum sp.
c. Pengendalian Dengan Menggunakan Perilaku Serangga
Walang sangit tertarik oleh senyawa (bebauan) yang dikandung tanaman
Lycopodium sp dan Ceratophylum sp. Hal ini dapat dimanfaatkan untuk menarik
hama walang sangit dan kemudian secara fisik dimatikan. Bau bangkai binatang
terutama bangkai kepiting juga efektif untuk menarik hama walang sangit.
d. Pengendalian Kimiawi
Pengendalian kimiawi dilakukan pada padi setelah berbunga sampai
masak susu, ambang kendali untuk walang sangit adalah enam ekor /m2. Banyak
insektisida yang cukup efektif terutama yang berbentuk cair atau tepung
sedangkan yang berbentuk granula tidak dapat dianjurkan untuk mengendalikan
walang sangit. Insektida anjuran untuk tanaman padi yang cukup efektif terhadap
walang sangit adalah yang berbahan aktif fipronil, metolkarb, propoksur, BPMC
dan MIPC (Borror,1992).
2. Pengisap Polong
Bioekologi
Siklus hidup R. linearis
meliputi stadium telur, nimfa yang terdiri atas lima instar, dan stadium imago.
Imago berbadan panjang dan berwarna kuning kecokelatan dengan garis putih
kekuningan di sepanjang sisi badannya. Imago datang pertama kali di pertanaman
kedelai saat tanaman mulai berbunga dengan meletakkan telur satu per satu pada
permukaan atas dan bawah daun. Seekor imago betina mampu bertelur hingga 70
butir selama 4– 47 hari. Imago jantan dan betina dapat dibedakan dari bentuk
perutnya, yaitu imago jantan ramping dengan panjang 11– 13 mm dan betina agak
gemuk dengan panjang 13–14 mm. Telur R. linearis berbentuk bulat dengan bagian
tengah agak cekung, ratarata berdiameter 1,20 mm. Telur berwarna biru keabuan
kemudian berubah menjadi cokelat suram. Setelah 6–7 hari, telur menetas dan
membentuk nimfa instar I selama 3 hari. Pada stadium nimfa, R. linearis
berganti kulit (moulting) lima kali. Setiap berganti kulit terlihat perbedaan
bentuk, warna, ukuran, dan umur. Rata-rata panjang tubuh nimfa instar I adalah
2,60 mm, instar II 4,20 mm, instar III 6 mm, instar IV 7 mm, dan instar V 9,90
mm. Nimfa maupun imago mampu menyebabkan
kerusakan pada polong kedelai dengan cara mengisap cairan biji di dalam polong
dengan menusukkan stiletnya. Tingkat kerusakan akibat R. linearis bervariasi,
bergantung pada tahap perkembangan polong dan biji. Tingkat kerusakan biji
dipengaruhi pula oleh letak dan jumlah tusukan pada biji(Pracaya,1993).
Pengendalian
Tanam serempak dengan selisih waktu kurang dari 10 hari; (2)
Pergiliran atau rotasi tanaman yang baik adalah bila jenis tanaman pada suatu
musim berbeda dengan jenis tanaman yang ditanam pada suatu musim berikutnya dan
jenis tanaman tersebut bukan merupakan inang hama tanaman yang ditanam pada
musim sebelumnya. Dengan pemutusan ketersediaan inang pada musim kedua,
populasi hama yang sudah meningkat pada musim pertama dapat ditekan; (3) Cendawan
entomopatogen Lecanicillium lecanii mampu menginfeksi telur, nimfa dan kepik
coklat Riptortus linearis dengan tingkat mortalitas yang sangat tinggi dan
dapat mencapai 50%; (4) Tanaman
perangkap Sesbania rostrata di pematang dapat mengurangi serangan hama pengisap
polong kedelai. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jika populasi hama pengisap
polong cukup tinggi, keberadaan Sesbania dapat menekan populasi hama pengisap
polong pada tanaman kedelai hingga 35%; (5) Semprot dengan insektisida bila
populasi mencapai ambang kendali (klorfluazuron, betasiflutrin, sipermetrin,
alfametrin, carbosulfan, sihalotrin, sipermetrin) (Pracaya,1993).
3. Belalang Kayu
Bioekologi
Daur hidup Valanga nigricornis
termasuk pada kelompok metamorfosis tidak sempurna. Pada kondisi
laboratorium (temperatur 28 °C dan kelembapan 80 % RH) daur hidup dapat
mencapai 6,5 bulan sampai 8,5 bulan. Fekunditas rata-ratanya mencapai 158
butir. Keadaan yang ramai dan padat akan memperlambat proses kematangan gonad
dan akan mengurangi fekunditas . Metamorfosa
sederhana (paurometabola) dengan perkembangan melalui tiga stadia yaitu telur,
nimfa, dan dewasa (imago). Bentuk nimfa dan dewasa terutama dibedakan pada
bentuk dan ukuran sayap serta ukuran tubuhnya. Umumnya belalang V. Nigricornis bertelur pada
awal musim kemarau. Telur dimasukkan ke dalam tanah sedalam 5-8 cm. Telur
tersebut di bungkus dengan assa busa yang kemudian mengering dan memadat,
bewarna cokelat dengan panjang 2-3 cm. Lama penetasan 12-15 hari. Telur bewarna
cokelat kekuningan, berbentuk sosis, dengan diameter berkisar 1mm. Nimfa yang baru menetas, bewarna kuning
kehijauan dengan bercak hitam. Nimfa tersebut keluar dari tanah, lalu naik ke
tanaman jagung dan menghabisi daging daun jagung . Nimfa mengalami lima kali
instar, lamanya 48-57 hari. Nimfa yang beru menetas panjangnya berkisar 8 mm
dan lebar 3 mm, warna mula-mula putih dan berubah menjadi merah orange atau
merah bata. Nimfa yang sempurna panjangnya 35 mm dan lebar 28 mm. Setelah menjadi imago, belalang ini akan
terbang mencari makanan ke tempat lain. Perkawinan di lakukan di atas pohon
setelah kawin betina terbang ke tanah mencarri tempat bertelur. Bila ada angin,
belalang kayu bisa terbang sejauh 3km-4km. Tanah untuk bertelur dipilih tanah
gembur dan terbuka, tidak penuh dengan tanaman. V.nigricornis berantena pendek,
protonum tidak memanjang ke belakang, tarsi beruas tiga buah, femur kaki
belakang membesar, ovipositor pendek. Metamorfosa sederhana yaitu
telur-nimfa-dewasa(Pracaya,1993).
Pengendalian
Pengendalian Hayati
Agens hayati M. anisopliae var. acridium, B. bassiana, Enthomophaga
sp.dan Nosuma locustae di beberapa negara terbukti dapat digunakan padasaat
populasi belum meningkat(Nyoman,1998).
Pola Tanam
Di daerah pengembangan tanaman pangan yang menjadi ancaman hama
belalang kembara perlu dipertimbangkan pola tanam dengan tanaman alternatif
yang tidak atau kurang disukai belalang dengan sistem tumpang sari atau
diversifikasi.Pada areal yang sudah terserang belalang dan musim tanam belum
terlambat, diupayakan segera pena naman kembali dengan tanaman yang tidak
disukai belalang seperti, kedelai, kacang hijau, ubi kayu, ubi jalar, kacang
panjang, tomat, atau tanaman yang kurang disukai belalang seperti kacang tanah,
petsai, kubis, dan sawi(Nyoman,1998).
Mekanis
Melakukan gerakan masal sesuai stadia populasi:Stadia telur. Untuk
mengetahui lokasi telur maka dilakukan pemantauan lokasi dan waktu hinggap
kelompok belalang dewasa secara intensif. Pada areal atau lokasi bekas serangan
yang diketahui terdapat populasi telur, dilakukan pengumpulan kelompok telur
melalui pengolahan tanah sedalam 10 cm, kelompok telur diambil dan dimusnahkan,
kemudian lahan segera ditanami kembali dengan tanaman yang tidak disukai
belalang(Pracaya,1993).
Stadia nimfa. Setelah dua minggu sejak hinggapnya kelompok belalang
kembara mulai dilakukan pemantauan terhadap kemungkinan adanya nimfa. Nimfa
dikendalikan dengan cara memukul, menjaring, membakar atau menggunakan
perangkap lainnya. Menghalau nimfa ke suatu tempat yang sudah disiapkan di
tempat terbuka untuk kemudian dimatikan. Nimfa yang sudah ada di tempat terbuka
apabila memungkinkan juga dapat dilakukan pembakaran namun harus hati-hati agar
api tidak merembet ke tempat lain. Pengendalian nimfa berperan penting dalam
menekan perkembangan belalang(Pracaya,1993).
Kimiawi
Dalam keadaan populasi tinggi, perlu segera diupayakan penurunan
populasi. Apabila cara-cara lain sudah ditempuh tetapi populasi masih tetap
tinggi maka insektisida yang efektif dan diijinkan dapat diaplikasikan.
Jenis insektisida yang dapat digunakan untuk mengendalikan belalang
adalah jenis yang berbahan aktif organofosfat seperti
fenitrothion(Pracaya,1993).
4. Ulat Grayak
Bioekologi
Ulat grayak
memiliki ciri khas, yaitu terdapatnya 2 bintik hitam berbentuk bulan sabit pada
ruas abdomen ke 4 dan 10 yang dibatasi oleh alur-alur lateral dan dorsal
berwarna kuning yang nemanjang sepanjang badan (10). Perkembangan ulat grayak
bersifat metamorfosis sempurna, terdiri atas stadia ulat, kepompong, ngengat
dan telur.
Setelah telur menetas, ulat tinggal untuk sementara waktu di tempat
telur diletakkan. Beberapa hari kemudian, ulat tersebut berpencaran. Ulat tua
bersembunyi di dalam tanah pada siang hari dan giat nenyerang tanaman pada
malam hari. Stadium ulat terdiri atas 6 instar yang berlangsung selama 14 hari.
Ulat instar I, II dan III, masing-masing berlangsung sekitar 2 hari. Ulat
berkepompong di dalam tanah. Stadia kepompong dan ngengat, masing-masing
berlangsung selama 8 dan 9 hari. Ngengat meletakkan telur pada umur 2-6 hari.
Telur diletakkan berkelompok dan ditutupi oleh bulu-bulu halus berwarna
coklat-kemerahan. Produksi telur mencapai 3.000 butir per induk betina,
tersusun atas 11 kelompok dengan rata-rata 200 butir per kelompok. Stadium
telur berlangsung selam 3 hari (2;10;12).
Ulat muda menyerang daun hingga tertinggal epidermis atas dan
tulang-tulang daun saja. Ulat tua merusak pertulangan daun hingga tampak
lobang-lobang bekas gigitan ulat pada daun.
Ulat grayak mulai menyerang tanaman kedelai sejak stadium vegetatif
awal. Populasi ulat ini kemudian tumbuh dan mencapai puncak pada tanaman
berumur 38 hari. Populasi ulat meningkat lagi setelah tanaman berumur 73 hari
(9).
Ulat grayak bersifat kosmopolitan sehingga penyebarannya sangat
luas. Sebaran populasi ulat grayak di Pulau Jawa beragam dari waktu ke waktu,
tetapi selalu ditemukan pada sepanjang tahun. Keragaman ini disebabkan oleh
daya migrasinya yang tinggi dan sifatnya yang polipag pada berbagai tanaman
pangan, sayuran dan industri sehingga mampu bertahan hidup pada berbagai
tanaman (16).
Ulat grayak memiliki berbagai jenis musuh alami, tetapi yang penting
dan banyak dijumpai di lapang, terdiri atas 4 jenis predator, yaitu semut api
Solenopsis geminata, kunbang Paederus fuscipes, laba-laba Lycosa pseudoannulata
dan Oxypes javanus, Euborellia stali (Dermaptera), 1 jenis parasit, yaitu
Snellenius manilae dan 1 jenis patogen, yaitu nuclear-polyhedrosis virus
(Borellinavirus litura)(3;6) (Direktorat,2001).
Pengendalian
A. Pangaturan cara bercocok tanam
Cara ini dimaksudkan untuk menciptakan lingkungan yang kurang
menguntungkan bagi ulat grayak untuk bertahan hidup, tumbuh dan bereproduksi.
Pengendalian dengan cara ini biasanya tidak memberikan hasil yang memuaskan
karena sifatnya hanya mengurangi populasi ulat. Meskipun demikian, cara ini
menguntungkan apabila diterapkan dalam program PHT karena menciptakan
lingkungan yang relatif stabil dan tidak memberikan hasil pengendalian yang beragam,
seperti yang dihasilkan bila mengandalkan insektisida saja. Pengaturan cara
bercocok tanam, antara lain meliputi pengaturan pergiliran tanaman yang
disertai bertanam serempak dan bertanam dengan sistem tumpang sari.
Penanaman kedelai sebaiknya dilakukan sekali setahun pada akhir
musim hujan, setelah panen padi. Kedelai yang ditanam pada waktu tersebut
relatif terlindung dari serangan ulat grayak karena selama musim tanam padi,
pakan tidak tersedia dengan cukup sehingga populasi ulat jauh berkurang. Apabila
kedelai ditanam untuk kedua kalinya pada pertengahan musim kemarau, umumnya
terserang oleh ulat grayak karena selama musim tanam kedelai pertama, pakan
tersedia dengan cukup sehingga peluang ulat grayak untuk tumbuh dan
bereproduksi lebih besar.
B. Cara fisik dan mekanis
Pengendalian fisik dan mekanis merupakan cara yang langsung atau
tidak langsung mematikan serangga, mengganggu fisiologi serangga dengan cara
yang berbeda dengan insektisida, atau merubah lingkungan nenjadi tidak
menguntungkan bagi serangga hama. Cara ini kurang populer karena informasi
tentang bioekologi serangga tidak cukup tersedia. Oleh karena itu, peranannya
di dalam PHT relatif kecil dan harus dipadukan dengan cara lain. Cara fisik dan
mekanis yang dianjurkan dalam mengendalikan ulat grayak adalah dengan memungut
dan memusnahkan kelompok telur yang ditemukan.
C. Pemanfaatan musuh alami
Untuk memanfaatkan musuh alami ulat grayak, dilakukan usaha
konservasi yang tujuannya adalah untuk meningkatkan efektivitas musuh alami
tersebut di lapang. Misalnya, dalam usaha memanipulasi lingkungan untuk
mengejar hasil panen yang tinggi, insektisida harus digunakan secara selektif
terhadap hama sasaran demikian pula caranya, harus dengan dosis, formulasi,
waktu dan frekuensi aplikasi yang cocok.
Saat ini Balittan Bogor sedang meneliti pemanfaatan nuclear
polyhadrosis virus (NPV) untuk mengendalikan ulat grayak. Usaha pemanfaatan NPV
ini didasarkan atas kenyataan bahwa pada tahun 1985 di Lampung Tengah dan
Brebes (Jawa Tengah) dijumpai ulat grayak yang mati terserang NPV. Setelah
dilakulkan pengujian LC50 di laboratorium, terbukti bahwa ulat grayak rentan
terhadap NPV (6). Hasil pengujian lanjutan di rumah kaca menunjukkan bahwa
konsentrasi NPV sebesar 2,3 X 107 polyhedra inclusion bodies (PIBs)/ml yang
diaplikasikan sebanyak 50 ml/m2 efektif untuk mengendalikan ulat grayak instar
I-III (1). Kenyataan tersebut membuka peluang baru bagi terciptanya
pengendalian hayati ulat grayak dengan NPV, terutama untuk daerah-daerah yang
ulat grayaknya tahan terhadap insektisida
D. Penggunaan insektisida
Insektisida harus digunakan secara selektif, sebagai pilihan
terakhir apabila populasi hama tidak dapat dikendalikan dengan cara lain dan
apabila telah mencapai ambang ekonomi. Aplikasi insektisida harus dilakukan
sedini mungkin pada saat ulat mencapai instar I-III yang relatif rentan
terhadap insektisida (11). Apabila aplikasi dilakukan pada saat ulat telah
mencapai instar IV-VI, pengendaliannya kemungkinan besar tidak mengenai sasaran
karena selain relatif tahan terhadap insektisida, ulat biasanya bersembunyi di
dalam tanah selama siang hari. Di samping itu, dengan daya makan ulat yang
besar dan cepat, maka tindakan pengendalian terhadap ulat instar IV-VI
dikhawatirkan terlambat karena tanaman telah mengalami kerusakan berat.
Jenis-jenis insektisida yang direkomendasikan untuk mengendalikan
ulat grayak adalah triflumuron, permetrin, klorfluazuron, monokrotofos,
diazinon, kuinalfos, karbaril, sipermetrin, decametrin, endosulfan, pentoat,
thiazofos, isosaktion, metonil, tiodikarb dan metamidofos (8) (Direktorat,2001).
5. Pengisap Buah Kakao
Bioekologi
Merupaka hama utama dan paling cepat menimbulkan kerugian pada
tanaman kakao. Karena tipe mulut
haustelata maka nympha dan imago menyerang dengan cara mengisap cairan tanaman
yang masih muda seperti daun, pucuk muda, tunas, bunga, biji,/gelondong, dan
buah. Air liur serangga ini sangat beracun sehingga pada bagian tanaman yang
terkena tusukan melepuh dan berwarna coklat tua. Serangan pada titik tumbuh
dapat mengakibatkan mati pucuk sehingga pertumbuhan tanaman terhambat. Pada bagian tanaman yang terserang tampak
adanya bekas tusukan berupa noda kering berwarna coklat kemerahan hingga hitam
dan bagian itu sangat rapuh. Kerusakan pada pentil buah ditunjukkan dengan adanya
bekas tusukan yang mengeluarkan gumpalan getah berwarna kuning. Pada tunas-tunas muda, kerusakan berupa luka
yang panjang berwarna hitam. Serangan
berat menyebabkan kematian pucuk. Pada
bunga gejala serangan berupa warna hitam pada bunga itu. Serangan hama tersebut juga dapat menyebabkan
stagnasi pertumbuhan tanaman dan kematian titik tumbuh (pucuk). Kematian pucuk itu merangsang pertumbuhan
cabang sekunder, sehingga pertumbuhan tajuk menggerombol. Jika menyerang bibit, maka bibit menjadi
kerdil, bahkan mati(Mardiningsih,2007).
Pengendalian
Adapun teknik pengendalian yang dapat dilakukan antara lain yaitu
: Pengendalian secara kultur teknis,
pengendalian secara mekanis, pengendalian secara biologi dengan konservasi
musuh alami seperti belalang sembah (Mantis sp.), laba-laba, dan kepik famili
Reduviidae serta pengendalian secara kimiawi (Mardiningsih,2007).
6. Kumbang Kelapa
Bioekologi
Larva Kumbang Kelapa (Oryctes rynoceros) yang baru menetas berwarna
putih dan setelah dewasa berwarna putih kekuningan, warna bagian ekornya agak
gelap dengan panjang 7-10 cm. Larva dewasa berukuran panjang 12 mm dengan
kepala berwarna merah kecoklatan. Tubuh bagian belakang lebih besar dari bagian
depan. Pada permukaan tubuh larva terdapat bulu-bulu pendek dan pada bagian
ekor bulu-bulu tersebut tumbuh lebih rapat. Stadium larva 4-5 bulan, bahkan
adapula yang mencapai 2-4 bulan lamanya. Stadium larva terdiri dari 3 instar
yaitu instar I selama 11-21 hari, instar II selama 12-21 hari dan instar III
selama 60-165 hari. Kumbang ini berwarna
gelap sampai hitam, sebesar biji durian, cembung pada bagian punggung dan
bersisi lurus, pada bagian kepala terdapat satu tanduk dan tedapat cekungan
dangkal pada permukaan punggung ruas dibelakang kepala. Pada bagian atas berwarna
hitam mengkilat, bagian bawah coklat merah tua. Panjangnya 3-5 cm. Tanduk
kumbang jantan lebih panjang dari tanduk betina. Oryctes Rhinoceros menyerang tanaman kelapa
yang masih muda maupun yang sudah dewasa. Satu serangan kemungkinan bertambah
serangan berikutnya. Kumbang dewasa terbang ke pucuk pada malam hari, dan mulai
bergerak ke bagian dalam melalui salah satu ketiak pelepah bagian atas pucuk.
Biasanya ketiak pelepah ketiga, keempat, kelima dari pucuk merupakan tempat
masuk yang paling disukai. Setelah kumbang menggerek kedalam batang tanaman,
kumbang akan memakan pelepah daun mudah yang sedang berkembang. Karena kumbang
memakan daun yang masih terlipat, maka bekas gigitan akan menyebabkan daun
seakan-akan tergunting yang baru jelas terlihat setelah daun membuka. Bentuk
guntingan ini merupakan ciri khas serangan kumbang kelapa Oryctes rhinoceros.
Bila serangan sampai merusak titik tumbuh maka kelapa tidak dapat membentuk
daun baru lagi yang akhirnya mati. Luka akibat serangan Oryctes rhinoceros mengakibatkan
terjadinya serangan sekunder dari kumbang sagu (Rhynchophorus sp.) (Natawigena, 1990).
Pengendalian
Pengendalian dapat dilakukan dengan cara menebang, membakar, atau
membelah pohon-pohon kelapa yang mati, sarang-sarangnya dibakar sedalam 20 cm,
pelepah daun kelapa dibersihkan setiap menurunkan buah, kumbang yang ditemukan
dibunuh atau dicungkil keluar dari lubangnya. Penggunaan kelapa mati yang
dibiarkan tegak merupakan cara yang cukup efektif untuk pengendalian hama ini.
Pengendalian dengan sistem ini dapat dilakukan bersama-sama dengan pengendalian
lain yaitu dengan cendawan Metharrizium anisopliae dan virus Baculovirus
oryctes, sehingga larva yang berada dalam tegakan tersebut akan terinfeksi oleh
cendawan ataupun virus(Natawigena, 1990).
7. Kutu Putih Kopi
Bioekologi
Kutu putih mengisap cairan dari tanaman kopi dengan mulut yang seperti
jarum. Dia menyerang banyak jenis tanaman selain kopi, termasuk lamtoro, jambu
mete, kakao, jeruk, kapas, tomat, singkong, dll. Kotoran kutu putih mengandung
gula dari tanaman; jika kotoran dibuang pada daun kopi, jamur dapat tumbuh pada
kotoran tersebut dan merusak daun kopi. Jamur tersebut juga dapat mengurangi
sinar matahari yang diserap oleh daun, sehingga mengganggu fotosintesis (proses
daun mengambil tenaga matahari untuk tumbuh). Jamur ini biasanya berwarna
hitam, tetapi bisa warna lain juga. Kutu putih mempunyai banyak jenis musuh
alami, termasuk tawon parasitoid, kumbang kubah, lalat jala dan jamur. Betina dapat menghasilkan 200-450 telur.
Telur menetas dan menjadi nimfa, yang mengisap cairan tanaman. Setelah ganti
kulit beberapa kali, nimfa menjadi dewasa. Bentuk betina dan jantan dewasa
cukup berbeda. Betina berbentuk oval dengan banyak lilin putih pada badannya;
sebagian lilin ini seperti benang, juga ada ekor dari lilin tersebut (lihat
foto di kanan). Betina tidak mempunyai sayap, tetapi jantan punya. Badan jantan
agak kurus dengan antena agak panjang. Betina hidup 1 sampai 2 bulan, tetapi
jantan hanya 1 sampai 3 hari(Novizan,2002).
Pengendalian
Pengendalian dilakukan dengan memusnahkan bagian tanaman yang terserang
serta menyemprotkan insektisida yang bersifat kontak. Kutu sisik hijau ini
berhubungan erat dengan semut, sehingga sebaiknya semut juga ikut disemprot
pestisida Diazinon, Malathion, dan sebagainya agar semutnya berkurang(Novizan,2002).
BAB IV
KESIMPULAN
Adapun
kesimpulan dari dilakukannya praktikum ini adalah sebagai berikut:
1.Hama penting pada tanaman pangan adalah walang
sangit dan pengisap polong, pada tanaman hortikultura adalah belalang kayu dan
ulat grayak,sedangkan pada tanaman perkebunan adalah pengisap buah
kakao,kumbang kelapa dan kutu putih kopi.
2. Gejala
serangan yang ditimbulkan antara lain rusaknya daun tanaan,bulir tidak terisi,busuk
pada buah kakao, dan patahnya kanopi daun kelapa.
3. Bioekologi
suatu hama akan berkaitan erat dengan cara pengendalian hama melalui
pengendalian hayati.
4. Pengendalian
hama yang dapat dilakukan adalah dengan cara mekanis,hayati,biologis maupun
kimiawi.
DAFTAR PUSTAKA
Borror, D.J., Charles A.T., & Norman, F.J.1992. Pengenalan Pelajaran Serangga. Gajah Mada University Press,
Yogyakarta.
Direktorat Perlindungan Perkebunan, Direktorat Jendral Bina Produksi
Perkebunan, Departemen pertanian. 2001. Musuh
Alami, Hama dan Penyakit Tanaman Jambu Mete. Proyek Pengendalian Hama Terpadu
Perkebunan Rakyat, Jakarta.
Mardiningsih,T. L. 2007. Potensi
Cendawan Synnematium sp. Untuk Mengendalikan Wereng Pucuk Jambu Mete
(Sannurus indecora Jacobi). Jurnal Litbang Pertanian, 26(4):146-151.
Natawigena. Hidayat. 1990. Pengendalian Hama Terpadu. Armico.Bandung.
Novizan.2002. Membuat dan Memanfaatkan Pestisida Ramah Lingkungan. Agromedia
Pustaka. Jakarta.
Nyoman. Ida. 1998. Pengendalian Hama Terpadu. UGM Press.
Yogyakarta.
Pracaya.1993. Hama dan Penyakit Tanaman. Penebas Swadaya. Jakarta.
LAPORAN PRAKTIKUM PENGENDALIAN HAMA TANAMAN
Reviewed by https://numpuktugas.blogspot.com/
on
September 26, 2017
Rating:
No comments:
Post a Comment